Ada satu momen dalam hidup saya yang sulit dilupakan. Seorang teman bercerita tentang ibunya yang sedang sakit keras. Semua saudara kandungnya sepakat untuk patungan membelikan makanan favorit si ibu.
Sebotol susu mahal, buah-buahan impor, bahkan lauk-pauk yang dulu pernah beliau sukai waktu masih kuat makan.Â
Sayangnya, saat semuanya sampai di meja rumah sakit, sang ibu hanya bisa menatap. Tak mampu mengunyah, apalagi menikmati. "Setidaknya kami sudah berusaha menunjukkan cinta kami," kata teman saya dengan nada lega.
Tapi di benak saya muncul pertanyaan yang terus mengganggu: kenapa semua itu baru dilakukan sekarang, ketika tubuh beliau nyaris tak lagi mampu menerima?
Saya tidak sedang menghakimi. Tidak juga merasa lebih baik. Karena saya pun pernah, dan barangkali masih, termasuk dalam kelompok anak-anak yang menunda bentuk perhatian dengan berbagai alasan.
Terlalu sibuk. Belum cukup mapan. Nanti saja kalau ada lebih. Atau alasan lain yang terdengar wajar tapi sebenarnya menutupi satu hal: kita sering lupa bahwa waktu orangtua itu terbatas.
Mungkin banyak dari kita tumbuh dalam keluarga yang tidak menuntut. Orangtua kita, apalagi yang lahir di generasi yang lebih tua, tidak pernah terang-terangan meminta.
Mereka lebih sering menahan. Menyimpan rasa ingin atau kebutuhan mereka dalam diam. Kalau pun mereka bicara, itu bukan dalam bentuk permintaan, tapi lewat isyarat halus yang mudah kita lewatkan. "Ibu kemarin lihat baju bagus di pasar, tapi mahal," atau "Ayah sebenarnya pengin makan daging, tapi lagi ngirit."
Dan kita, sebagai anak-anak yang merasa sudah dewasa, seringkali mengangguk sambil tertawa kecil. Mungkin membalas dengan, "Iya ya, nanti deh, lain waktu." Tapi 'lain waktu' itu sering tak datang.
Uang memang bukan segalanya. Tapi dalam relasi keluarga, ia bisa menjadi simbol perhatian yang nyata.