Tidak semua orang punya kondisi yang sama. Ada yang benar-benar belum mampu. Ada pula yang justru berada dalam posisi menopang orangtua sambil menyambung hidup sendiri. Tapi bagi kita yang punya penghasilan tetap, punya pekerjaan layak, bahkan punya tabungan, lalu tak juga menyisihkan untuk orangtua, mungkin kita perlu bertanya kembali: apakah kita sedang terlalu nyaman dengan memberi cinta hanya lewat kata-kata?
Saya pernah merenung soal satu kebiasaan di banyak keluarga: ketika orangtua jatuh sakit, anak-anak ramai berkumpul. Ada yang pulang dari luar kota, ada yang mendadak mengirim uang, ada pula yang bersedia cuti demi menjaga.Â
Ini baik, tentu saja. Tapi kenapa kehangatan seperti itu hanya muncul saat tubuh mereka lemah? Kenapa tidak hadir ketika mereka masih bisa duduk di kursi dan tertawa bersama kita? Saat mereka masih bisa makan dan menikmati makanan kesukaan?
Jangan sampai cinta kita datang terlambat. Jangan sampai kebaikan kita hadir ketika sudah tak bisa dinikmati. Orangtua kita tak pernah minta dibalas. Tapi bukan berarti kita tidak perlu membalas.
Saya menulis ini bukan karena saya sudah sempurna sebagai anak. Saya pun masih belajar. Tapi saya ingin mengajak kita semua, terutama pasangan-pasangan muda yang sibuk membangun masa depan, untuk tidak melupakan masa lalu yang membesarkan kita.
Kita bisa beli rumah, liburan, dan menyusun rencana keuangan dengan rapi, tapi jangan sampai lupa menyelipkan satu pos kecil: "Untuk Ayah dan Ibu."
Bukan soal angka. Bukan soal seberapa sering. Tapi soal kehadiran.
Sebab cinta itu, kalau hanya disimpan dalam hati, kadang tak sampai. Kadang butuh bentuk.
Dan uang, sekecil apa pun, bisa jadi salah satu bentuk yang paling sederhana tapi terasa.
Kita tak pernah tahu berapa lama lagi orangtua akan bersama kita. Tapi selama mereka masih ada, masih bisa menatap, mendengar, dan merasakan, berilah.
Kirimlah. Kunjungilah. Jangan tunggu sampai amplop putih yang kita siapkan bukan lagi berisi uang, tapi hanya sekadar tanda belasungkawa.