Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis

Pemerhati Pendidikan dan Pegiat Literasi Politik Domestik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kembalikan Lagi Sapu Itu ke Tangan Siswa

18 Juli 2025   19:12 Diperbarui: 18 Juli 2025   19:12 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa membersihkan ruang kelas (Sumber: Tribunnews.com

Kita pernah belajar karakter lewat sapu. Sekarang, kita hanya bayar orang buat membersihkannya. Apa yang sebenarnya dibersihkan?

Dulu, sebelum bel berbunyi, suara yang paling sering terdengar bukan instrumen dari speaker sekolah, tapi gesekan sapu di lantai.

Ada yang nyapu, ada yang ngepel, ada yang pura-pura sibuk nyari ember biar nggak disuruh banyak-banyak.

Semua kebagian, semua terlibat.
Pokoknya, mau malas atau rajin, tiap siswa pasti pernah megang sapu.

Sekarang? Sapu sudah pensiun dari tangan siswa. Bergeser ke tangan petugas outsourcing yang datang pagi-pagi, diam-diam bersih-bersih, lalu pulang tanpa banyak basa-basi.

Efisien? Iya. Tapi... ada yang hilang.
Dan itu bukan sekadar debu.

Sapu Adalah Simbol

Sapu itu bukan cuma alat.
Dulu, dia simbol tanggung jawab bersama. Simbol bahwa kebersihan sekolah bukan urusan orang lain.

Dengan piket kelas, kami belajar kalau ruang yang nyaman itu perlu dijaga.
Kalau lantai bersih itu bukan datang dari langit.
Dan kalau ada tumpahan air, kita nggak tinggal bilang, "Bu, ini kotor."

Sekarang, siswa tinggal duduk, datang, duduk lagi.
Kotor? Panggil petugas.
Sampah? Biarkan, nanti juga ada yang beresin.

Kita sedang membentuk generasi yang lebih suka menunjuk daripada turun tangan.

Sekolah Rasa Kantor

Lingkungan sekolah sekarang makin mirip kantor: bersih, wangi, profesional, tapi tanpa rasa memiliki.
Bedanya, pegawai kantor digaji buat itu. Siswa?
Lah, justru sekolah tempat belajar jadi manusia.

Tapi kalau semua pekerjaan kehidupan sehari-hari diambil alih, lalu kita belajar soal tanggung jawab dari mana?

Mungkin Terlalu Sibuk?

Alasannya macam-macam.
Siswa sudah sibuk belajar.
Kurikulumnya padat.
Atau, ini demi "efektivitas pembelajaran".

Tapi, sepadat-padatnya kurikulum, sempat kok buat main TikTok di toilet.
Masa buat nyapu 5 menit aja nggak bisa?

Harusnya Bukan Soal Siapa yang Bersih-Bersih

Ini bukan tentang siapa yang nyapu.
Ini soal rasa ikut memiliki.
Kalau dari kecil terbiasa merasa "bukan urusan gue", ya jangan heran kalau nanti dewasa jadi orang yang gampang buang sampah sembarangan dan nyalahin tukang sapu kota.

Balikin Budaya, Bukan Sekadar Alat

Kembalikan budaya tanggung jawab itu.
Nggak usah revolusioner. Mulai aja dari yang kecil.
Piket kelas mingguan. Gotong royong setiap Jumat.
Atau cukup kasih kesempatan siswa bersih-bersih ruang kelas sendiri.

Biar mereka tahu, sekolah itu bukan hotel.
Dan pendidikan itu bukan cuma di dalam kelas.

Karena Sapu Tak Pernah Salah

Sapu nggak pernah salah.
Yang salah, kita yang melupakannya.
Dan melupakan nilai-nilai baik yang dulu melekat erat lewat gerakan sederhana: menyapu ruang kelas bersama.

Kembalikan lagi sapu itu ke tangan siswa.
Sebelum yang tersapu bukan sampah, tapi nilai-nilai kebersamaan itu sendiri.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun