Kita pernah belajar karakter lewat sapu. Sekarang, kita hanya bayar orang buat membersihkannya. Apa yang sebenarnya dibersihkan?
Dulu, sebelum bel berbunyi, suara yang paling sering terdengar bukan instrumen dari speaker sekolah, tapi gesekan sapu di lantai.
Ada yang nyapu, ada yang ngepel, ada yang pura-pura sibuk nyari ember biar nggak disuruh banyak-banyak.
Semua kebagian, semua terlibat.
Pokoknya, mau malas atau rajin, tiap siswa pasti pernah megang sapu.
Sekarang? Sapu sudah pensiun dari tangan siswa. Bergeser ke tangan petugas outsourcing yang datang pagi-pagi, diam-diam bersih-bersih, lalu pulang tanpa banyak basa-basi.
Efisien? Iya. Tapi... ada yang hilang.
Dan itu bukan sekadar debu.
Sapu Adalah Simbol
Sapu itu bukan cuma alat.
Dulu, dia simbol tanggung jawab bersama. Simbol bahwa kebersihan sekolah bukan urusan orang lain.
Dengan piket kelas, kami belajar kalau ruang yang nyaman itu perlu dijaga.
Kalau lantai bersih itu bukan datang dari langit.
Dan kalau ada tumpahan air, kita nggak tinggal bilang, "Bu, ini kotor."
Sekarang, siswa tinggal duduk, datang, duduk lagi.
Kotor? Panggil petugas.
Sampah? Biarkan, nanti juga ada yang beresin.