Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis

Pegiat Literasi Politik Domestik | Kompasianer

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Mahal Sekali Berteman dengan Amerika

17 Juli 2025   19:50 Diperbarui: 17 Juli 2025   19:50 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump (Sumber: The New Yorker/Evan Vucci/AP)

Dulu dapat diskon, sekarang wajib belanja dan bayar lebih. Beginilah rasanya berteman dengan Amerika.

Di dunia diplomasi dagang, tak semua persahabatan bersifat saling menguntungkan. Indonesia baru saja merasakannya, setelah puluhan tahun menikmati fasilitas bebas tarif dari Amerika Serikat (AS), kini produk ekspor kita harus rela dikenakan tarif impor sebesar 19%.

Sebagian menyebutnya kompromi. Sebagian lagi menyebutnya ketimpangan. Tapi satu hal pasti: harga dari berteman dengan AS ternyata tidak murah.

Diskon yang Kini Hanya Tinggal Kenangan

Dulu, banyak produk Indonesia masuk ke pasar AS tanpa dikenai bea masuk berkat skema Generalized System of Preferences (GSP). Ini semacam diskon dagang bagi negara berkembang, dan Indonesia termasuk yang menikmatinya sejak lama.

Namun segalanya berubah sejak era Presiden Donald Trump. Dengan semangat "America First", AS mulai meninjau ulang berbagai kesepakatan dagang, termasuk GSP untuk Indonesia. Bahkan sempat diusulkan tarif baru sebesar 32% untuk produk ekspor kita.

Mengapa?

Karena defisit perdagangan. AS merasa lebih banyak membeli dari Indonesia daripada sebaliknya.

Karena prinsip timbal balik. Produk-produk AS dianggap sulit masuk ke Indonesia.

Dan tentu saja, karena agenda proteksi. AS ingin melindungi industrinya dari gempuran produk luar.

Ancaman itu cukup membuat negara kita gelisah. Dan negosiasi pun dimulai.

Dari Ancaman ke Kompromi. Tapi di Mana Letak Keadilan?

Setelah tarik ulur yang panjang, kedua negara akhirnya sepakat pada tarif 19%. Angka ini jelas lebih ringan dibanding ancaman 32%. Tapi tetap saja, ini berarti Indonesia kehilangan keistimewaan tarif 0% yang selama ini menjadi daya dorong ekspor kita ke AS.

Yang lebih menarik, atau mungkin menyakitkan, adalah isi di balik kesepakatan ini. Indonesia harus:

  • Membeli produk energi dan pertanian dari AS,
  • Mengakuisisi sejumlah pesawat Boeing,
  • Serta membuka keran impor tanpa mengenakan tarif tambahan bagi produk-produk AS.

Sementara itu, produk Indonesia dikenai tarif 19%. Asimetris? Sudah pasti.

Antara Realisme dan Ketimpangan

Tentu, ada dua cara membaca kesepakatan ini.

Dari sudut pandang kritis:

  • Ini kerugian nyata. Produk ekspor kita jadi lebih mahal dan kalah bersaing.
  • Kesepakatan timpang. Indonesia memberi banyak, tapi menerima sedikit. Bahkan bisa dibilang tidak setara.

Dari sudut pandang pragmatis:

  • Ini kompromi strategis. Kita berhasil menurunkan ancaman tarif dari 32% ke 19%.
  • Pasar AS tetap terbuka. Meski mahal, aksesnya tidak ditutup total.

Tapi tetap saja, pertanyaannya muncul: Apakah ini bentuk diplomasi yang cerdas, atau sekadar bentuk ketundukan dalam relasi dagang?

Siapa yang Pegang Kendali?

Kalau melihat hasil akhirnya, jawabannya cukup jelas. AS memegang kendali penuh. Mereka bisa mengancam, memaksa, lalu membuat kita menerima syarat-syarat baru dengan konsekuensi berat, tapi dibungkus dalam narasi "kerja sama ekonomi".

Kesepakatan ini menyiratkan satu hal: dalam dunia perdagangan global, negara kecil atau menengah harus pintar menavigasi antara kepentingan dan tekanan.

Dan tidak semua tekanan bisa ditolak.

Pelajaran Mahal dari Negeri Adidaya

Apa pelajaran dari kisah ini?

  • Bahwa dalam perdagangan internasional, persahabatan tidak menjamin perlakuan istimewa.
  • Bahwa diplomasi butuh kecerdasan, tapi juga keberanian untuk berkata "tidak".
  • Dan bahwa ketergantungan terhadap satu pasar, betapapun besar nilainya, bisa membuat kita lemah dalam negosiasi.

Ke depan, Indonesia harus:

  • Diversifikasi pasar ekspor,
  • Perkuat daya saing produk,
  • Dan bangun posisi tawar, bukan sekadar posisi tawar-menawar.

Karena kalau setiap hubungan dagang harus dibayar dengan konsesi besar dan harga mahal, kita patut bertanya: apakah ini kemitraan, atau hanya bentuk baru dari ketimpangan global?***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun