Tuhan sering kita undang di awal rumah tangga.
Waktu akad. Saat janji. Dalam doa pembuka.
Tapi entah sejak kapan, Ia hanya jadi nama dalam bingkai.
Simbol dalam obrolan. Tapi tidak lagi ikut memimpin keputusan.
Dan Mamon? Ia tak perlu kita sembah.
Cukup dengarkan saja terus-menerus:
"Kerja lebih keras."
"Cari yang lebih banyak."
"Tambah lagi. Kejar lagi."
Kita pikir kita mengejar kebutuhan.
Padahal kadang yang kita kejar adalah rasa takut akan kekurangan.
Dan rasa takut itulah yang membuat kita menyingkirkan kasih.
Menunda pengampunan.
Membatalkan waktu bersama.
Mempersingkat pelukan.
Menghapus doa.
Lalu kita mulai menakar cinta.
Kalau kamu berkontribusi, aku hargai.
Kalau kamu gagal, aku kecewa.
Padahal cinta bukan kontrak.
Dan rumah tangga bukan tempat akuntansi emosional.
Mungkin itulah mengapa banyak rumah hari ini terlihat bahagia dari luar,
tapi di dalamnya, ada orang-orang yang sunyi meski ramai,
kenyang tapi tidak puas,
tersenyum tapi sesak.
Karena kasih yang tak dipelihara akan layu.
Dan pengampunan yang tak diberikan akan menumpuk jadi luka.
Dan Tuhan yang terus disisihkan akan pergi... pelan-pelan, tanpa suara.
Ia tidak marah.
Tapi Ia tahu, rumah yang tak lagi memberi ruang bagi-Nya,
akan menjadi tempat di mana uang bisa membeli segalanya, kecuali makna.
Dan makna itulah yang membuat hidup jadi benar-benar hidup.
Jadi coba lihat sejenak ke dalam rumahmu.
Bukan bentuknya, tapi arah hatinya.
Siapa yang lebih sering menentukan keputusanmu?
Mamon, atau Tuhan?
Hitungan keuntungan, atau kerelaan memberi?
Efisiensi, atau kasih?
Dan dalam setiap rezeki yang kau terima,
masihkah ada bagian untuk Tuhan?
Atau semuanya sudah habis, lalu kita berkata,
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!