Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

5 Alasan Mengapa Koruptor Bansos Covid-19 Pantas Dihukum Mati

7 Desember 2020   04:34 Diperbarui: 7 Desember 2020   06:27 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri | KOMPAS TV

Ayat (1): Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun atau paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Ayat (2): Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Dijelaskan, yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Bagian ayat mana yang akan digunakan dan mengapa harus demikian? Jawabannya, semua tergantung pertimbangan, kebijaksanaan, dan keputusan hakim, setelah para tersangka menjadi terdakwa menuju terpidana.

Majelis hakim yang berhak memutuskan, mau menggunakan ayat mana (mengabulkan dakwaan dan tuntutan apa, serta seberapa lama dan besar hukuman). Dan diketahui, yang berkewenangan mengajukan dakwaan dan tuntutan yaitu jaksa KPK.

Maka dari itu, untuk memutus perkara, hakim bergantung pada dakwaan dan tuntutan jaksa yang diharapkan berdasar (sesuai fakta, bukti, dan sebagainya) dan turut dikuatkan pendapat para ahli.

Menegaskan kembali, yang berkewenangan adalah jaksa dan hakim, bukan lembaga lain maupun rakyat. Pernyataan Presiden Joko Widodo di acara Hakordia pada Senin, 9 Desember 2019 lalu, bahwa hukuman mati bisa diterapkan "sepanjang dikehendaki rakyat", agaknya keliru.

Sulit membayangkan bila penerapan hukuman mati mesti tergantung desakan mayoritas warga. Apakah artinya rakyat harus berdemonstrasi? Bukankah itu berarti intervensi proses hukum? Bukankah pula bisa saja terselip kepentingan tertentu (individu dan kelompok) di dalamnya?

Usai menyusun dakwaan, entah tuntutan apa saja yang kemudian diajukan jaksa kepada hakim. Yang jelas, seharusnya dari pertimbangan salah satu ayat dalam Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun 2001.

Seandainya jaksa menggunakan ayat 1, maka tuntutan hukuman kepada para terdakwa dalam bentuk pidana penjara berkisar 4 sampai 20 tahun atau seumur hidup, serta tetap membayar denda sesuai batasan yang ditentukan.

Mengulang pertanyaan, akankah jaksa menuntut hukuman mati seperti terdapat pada ayat 2? Atau jika tidak dituntut jaksa, mungkinkah majelis hakim memanfaatkan kebebasan dan kemandirian mereka untuk menerapkan sanksi maksimal tersebut?

Kemungkinan, iya. Hukuman mati jadi salah satu opsi. Dan lagi-lagi, pasti disesuaikan dengan besarnya kesalahan masing-masing tersangka (calon terdakwa dan terpidana).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun