Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bakal Efektifkah Tugu dan Peti Mati untuk Sosialisasi Bahaya Covid-19 di Jakarta?

3 September 2020   17:43 Diperbarui: 4 September 2020   13:03 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga yang tidak pakai masker masuk peti mati di kawasan Kalisari, Jakarta Timur, Kamis (3/9/2020) | Sumber gambar: Tribunnews.com/ dok. Pemprov DKI Jakarta

Saya kira gagasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyediakan peti mati untuk mensosialisasikan bahaya wabah Covid-19 serta meningkatkan kedisiplinan warga mematuhi protokol kesehatan akan sebatas wacana. Ternyata benar direalisasikan. Gagasan terlaksana dan peti mati dibuat. Harapannya warga bisa jera dan angka penularan wabah menurun.

Peti mati yang dimaksud berwujud berupa tugu dan replika. Dalam bentuk tugu sudah didirikan di beberapa wilayah, antara lain di Kepulauan Seribu (Pulau Pramuka dan Pulau Tidung); di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, di area Danau Sunter, Jakarta Utara; dan sebagainya. Sementara dalam bentuk replika juga sudah tersedia dan digunakan, misalnya di Jalan Raya Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur.

Pengadaan tugu dan replika peti mati diinisiasi sebagai peringatan sekaligus pilihan sanksi lain bagi warga yang melanggar protokol kesehatan. Ya, warga yang melihat tugu serta merasakan bagaimana berada di dalam peti mati diharapkan tersadar dan jera melakukan pelanggaran.

Sebagai sarana penyadaran dan pembentuk efek jera, betulkah tugu dan replika peti mati efektif menekan angka penularan wabah? Beberapa waktu ke depan baru bisa terbaca. Apakah benar dengan melihat dan merasakan peti mata, warga akan takut, lalu kemudian tidak lagi melanggar protokol kesehatan.

Menurut saya, kalau Pemprov DKI Jakarta sungguh ingin agar dampak keberadaan "peti mati" nyata signifikan , maka sosialisasi serta penerapan sanksi baru itu harus diperluas dan dijadikan sebagai "sanksi utama", bukan pilihan. Artinya, jangan cuma di wilayah tertentu saja dan warga dibebaskan menentukan jenis sanksinya.

Maksudnya begini, semua pelanggar protokol kesehatan wajib menjalankan sanksi "masuk ke dalam peti mati", baru kemudian meneruskan sanksi lain, yaitu antara membayar denda atau membersihkan area publik (menyapu jalan, halte, lokasi pemakaman, dan lain-lain). Hal yang saya khawatirkan adalah:

Pertama, jangan-jangan dengan adanya tugu peti mati, warga justru semakin berkerumun ingin melihat. Syukur-syukur niat mereka adalah untuk merenung betapa mengerikan yang namanya kematian akibat wabah. Tetapi kalau sekadar mengambil foto (buat konten media sosial), maka tujuan pembangunan tugu melenceng.

Kedua, menjadikan sanksi "masuk ke dalam peti mati" sebagai pilihan, terlihat seperti kurang serius. Mengapa? Bukankah akhirnya para pelanggar protokol kesehatan malah lebih memilih masuk peti mati ketimbang membayar denda atau membersihkan area publik? Bagi mereka yang takut peti mati mungkin cocok, tapi tidak dengan yang kian akrab.

Fakta misalnya yang terjadi di Kalisari, Pasar Rebo, Kamis (3/9/2020). Melansir Tribunnews.com (sila klik), disebutkan bahwa, dari sekian pelanggar yang terkena razia petugas, 3 (tiga) di antaranya memilih masuk peti mati ketimbang membayar denda atau membersihkan area publik. Alasan mereka sederhana, yaitu tidak punya uang dan untuk mempersingkat waktu hukuman.

Betapa tidak, jika memilih membayar denda, maka pelanggar wajib mengeluarkan uang sebanyak ratusan ribu rupiah. Itu kalau kebetulan ada dan rela diserahkan kepada petugas. Kemudian, masuk ke dalam peti mati hanya butuh beberapa menit saja, sedangkan membersihkan area publik paling singkat 1 (satu) jam. Belum lagi menanggung malu karena disaksikan warga lain.

Ketiga, bila sanksi "peti mati" konsisten dijalankan dan diperluas, alias tidak hanya di kawasan tertentu, maka Pemprov DKI Jakarta harus siap menggelontorkan dana lebih. Cukupkah dana dari hasil denda untuk pembiayaannya? Apakah akan diambil juga dari APBD?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun