Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Beri Bantuan Rp 600 Ribu per Bulan ke Karyawan Swasta, Pemerintah Sebaiknya Pertimbangkan 3 Hal Ini

7 Agustus 2020   15:32 Diperbarui: 8 Agustus 2020   17:07 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah pekerja menggunakan masker berjalan kaki setelah meninggalkan perkantorannya di Jakarta, Rabu (29/7/2020) | Sumber gambar: KOMPAS.com/Garry Lotulung

Dalam rangka mendorong konsumsi atau daya beli masyarakat di tengah pandemi Covid-19, pemerintah berencana akan menggelontorkan dana bantuan sebesar Rp 31,2 triliun untuk dibagikan kembali kepada warga yang memenuhi syarat.

Ada pun warga yang dinyatakan memenuhi syarat, yakni mereka yang berprofesi sebagai karyawan swasta, memiliki gaji di bawah Rp 5 juta per bulan, dan terbukti aktif terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dengan iuran Rp 150 ribu per bulan.

Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Erick Thohir menyebutkan, bantuan yang diberikan kepada masing-masing karyawan swasta merupakan gaji tambahan. Besaran dana yang akan diterima sebesar Rp 600 ribu per bulan selama 4 (empat) bulan.

Meski dialokasikan per bulan, nantinya dana bantuan bakal langsung ditransfer ke rekening masing-masing karyawan swasta per 2 (dua) bulan atau 2 (dua) tahap. Artinya, total dana bantuan Rp 2,4 juta, dan sekali terima sebesar Rp 1,2 juta.

Diperkirakan ada sekitar 13,8 juta penerima yang memenuhi syarat. Setelah proses final, pihak yang diberi tanggungjawab mendistribusikan bantuan adalah Kementerian Ketenagakerjaan. Rencananya, realisasi distribusi bantuan dapat terlaksana pada September 2020.

Pemberian bantuan gaji tambahan puluhan triliun rupiah kepada karyawan swasta tadi kiranya bisa dianggap sebagai upaya lanjutan pemerintah dalam meringankan beban masyarakat, seusai memberi bantuan sosial melalui Kemensos dan BLT lewat Kemendesa PDTT.

Pertanyaannya, apakah pemerintah sudah mempertimbangkan secara matang syarat-syarat di atas? Adakah terdapat perlakuan diskriminatif di sana? Betulkah akan berdampak signifikan pada peningkatan konsumsi masyarakat?

Menurut penulis, sebelum merealisasikan rencananya, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan hal-hal berikut, sehingga dana bantuan yang diberikan tepat sasaran, tidak diskriminatif, serta tidak dianggap pula oleh sebagian pihak sebagai tindakan buang-buang anggaran.

Pertama, dalam mendata karyawan swasta yang memenuhi syarat, pemerintah wajib belajar dari pengalaman sebelumnya ketika menyalurkan bansos dan BLT.

Saat bansos dan BLT direalisasikan, setelah dievaluasi, ditemukan beragam persoalan. Fakta misalnya, banyak para penerima yang tidak memenuhi syarat karena bukan bukan warga yang betul-betul membutuhkan atau miskin.

Berarti bantuan tidak tepat sasaran. Mengapa terjadi demikian? Sebab, data warga miskin di ratusan kabupaten dan kota tidak diperbaharui. Masih menggunakan data lama.

Melansir kabar24.bisnis.com (1 Juli 2020), ditemukan fakta bahwa dari total 514 kota dan kabupaten, hanya 20 persen (103 kabupaten dan kota) yang data warga miskinnya aktif diperbaharui. Kalau pun diperbaharui, datanya asal-asalan.

Di antara sekian ratus kabupaten dan kota tersebut juga, berdasarkan catatan Kompas.com (1 Juli 2020), ternyata ada sebanyak 92 kabupaten dan kota yang sama sekali tidak memperbaharui data warga miskinnya selama 5 (lima) tahun lalu, atau sejak 2015.

Maksudnya apa? Pemerintah tidak boleh lagi mengulang kesalahan yang sama. Penerima bantuan bukanlah orang tepat, sesuai syarat. Perlu ada upaya ekstra supaya data-data calon penerima valid, bukan rekayasa.

Penulis tidak tahu seperti apa pemerintah melakukan pendataan karyawan swasta, calon penerima bantuan. Apakah hanya mengambil data yang disajikan BPJS Ketenagakerjaan, atau bagaimana.

Seandainya benar cuma data tunggal dari BPJS Ketenagakerjaan, pemerintah mestinya memverifikasi ulang. Jangan sampai ada data seseorang yang tercantum sebagai karyawan swasta, namun nyatanya sudah terkena PHK, meskipun sampai sekarang masih terdata di BPJS Ketenagakerjaan.

Kedua, pemberian bantuan sesungguhnya bertujuan untuk meringankan beban warga di tengah pandemi Covid-19, yang kebetulan kali ini diarahkan kepada karyawan swasta.

Adakah pemerintah berpikir bahwa jangan-jangan gaji yang diterima di perusahaan bisa saja merupakan bagian dari penghasilan tambahan seorang karyawan? Maksudnya adalah, meskipun bergaji di bawah Rp 5 juta, ternyata karyawan tersebut punya penghasilan lain yang jauh lebih besar.

Cukup adilkah pemberian bantuan hanya dengan melihat data gaji yang tersaji di BPJS Ketenagakerjaan? Calon penerima 13,8 juta orang. Bagaimana dengan mereka yang tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan akibat kelalaian perusahaan?

Bukankah jumlah buruh dan pegawai di Indonesia ada sekitar 52,2 juta orang? Berarti pekerja yang tidak terakomodir padahal mungkin sebagian besar di antaranya amat butuh bantuan sekitar 73,5 persen lagi. 

Baiklah bahwa pemerintah mengaku mengalami keterbatasan dana. Anggarannya hanya Rp 31,2 triliun. Maka di sinilah pentingnya verifikasi "layak dan tidak layak". Bukan asal melihat data gaji di BPJS Ketenagakerjaan.

Pemerintah semestinya mau 'mengambil hati' karyawan swasta yang punya penghasilan lain di luar gaji dari perusahaan. Bantuan jangan diberikan dulu kepada mereka, tapi dialihkan ke pekerja yang tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan yang sementara sungguh membutuhkan.

Sebenarnya akan sangat baik lagi jika seluruh pekerja (sejumlah 52,2 juta) diberi bantuan, baik yang sudah terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan maupun yang belum. Itu ternilai adil.

Bukankah cukup banyak anggaran penanganan Covid-19 yang belum terealisasi? Alihkan saja ke para pekerja (buruh dan karyawan swasta). Ingat pula mereka yang saat ini sedang menganggur akibat PHK atau memang belum mendapat pekerjaan sama sekali.

Bagaimana mendatanya? Itu tugas pemerintah. Dan tentunya harus ada verifikasi "layak dan tidak layak". Mungkin pada akhirnya tidak semua diberi, karena sebagian di antaranya terbukti masih bisa "menyambung hidup" tanpa berharap uang Rp 600 ribu, atau sudah terakomodir di Kartu Prakerja.

Ketiga, yakinkah pemerintah bahwa uang Rp 600 ribu per bulan kepada 13,8 juta karyawan swasta bakal digunakan untuk berbelanja? Ke mana dan untuk apa dibelanjakan? Ke pasar untuk membeli kebutuhan primer atau jangan-jangan ke mal untuk membeli kebutuhan sekunder dan tersier?

Hal inilah yang wajib dipastikan. Karena, sekali lagi, tujuan pemberian bantuan yaitu untuk meringankan beban dalam membeli kebutuhan dasar. Amat disayangkan jika akhirnya uang yang diterima digunakan untuk belanja handphone keluaran terbaru, perhiasan, atau malah membeli rokok.

Atau mungkinkah tidak jadi dibelanjakan tapi malah ditabung dengan alasan masih ada penghasilan tetap (dan tambahan lain)? Tidak sesuai tujuan awal pemberian bantuan, bukan?

Uang Rp 600 ribu memang tidaklah besar. Cuma sangat berarti bagi mereka yang betul-betul membutuhkan. Uang puluhan triliun jangan asal keluar. Terserah nantinya mau digunakan untuk apa. Itu tidak boleh terjadi. Tujuan mulia dan manfaat besar menjadi tidak tercapai.

Semoga finalisasi proses segera selesai serta pemberian bantuan terealisasi tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat guna.

***

Referensi: KOMPAS.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun