Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Edhy Angkat 22 Pejabat Baru, untuk Jadi Backbone atau Bemper?

23 Januari 2020   12:08 Diperbarui: 23 Januari 2020   12:18 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo | Gambar: KOMPAS.com

Tiga bulan menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), perjalanan tugas Edhy Prabowo kerap menuai polemik. Beberapa kebijakan yang dibuatnya hampir tidak lepas dari pro dan kontra, misalnya soal penenggelaman kapal asing yang terbukti mencuri ikan di perairan Indonesia dan izin ekspor benih lobster.

Kedua hal tadi bahkan sampai membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut bicara menengahi persoalan, serta memusingkan para menteri terkait untuk memperjelas duduk perkara, meskipun tetap saja menyisakan tanda tanya hingga saat ini. Betapa tidak, ternyata menurut Edhy, apa yang sudah jadi polemik masih akan dibahas, yang titik terangnya tetap belum jelas.

Seolah tidak kapok diprotes, pada 2020 ini, Edhy disebut-sebut bakal melegalkan penggunaan cantrang bagi nelayan, di mana sebelumnya telah dilarang tegas lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016. Artinya, Edhy berencana mencabut kebijakan yang sempat diambil oleh pendahulunya, Susi Pudjiastuti (Menteri KKP periode 2014-2019).

Edhy melegalkan cantrang dengan alasan untuk mengakomodir kapal nelayan Pantura agar bisa beroperasi di Natuna Utara. Seperti yang diketahui publik, salah satu solusi yang diinisiasi dalam memperkuat kedaulatan Indonesia di perairan Natuna adalah mobilisasi nelayan. Hilir-mudiknya kapal China di sana dinilai karena sepi dari aktivitas nelayan Indonesia.

Apa hubungan antara pengakomodasian nelayan Pantura dengan legalitas cantrang? Bukankah nelayan bisa dikerahkan untuk beraktivitas mencari ikan di Natuna tanpa harus dikaitkan dengan keberadaan cantrang? Betulkah itu keinginan nelayan, atau jangan-jangan "kepentingan sisipan"? 

Apakah maksudnya memperkuat kedaulatan perairan boleh dilakukan serampangan dan mengabaikan kelestarian alam? Perlu dipahami, cantrang yang tergolong alat tangkap trawl (pukat harimau) amat berbahaya, mengancam kelangsungan hidup ikan-ikan berukuran kecil dan biota laut lainnya. Jangan terkesan, penegakan kedaulatan seperti berlomba menguras isi laut dengan China.

Entah akan terealisasi atau tidak, namun faktanya, keinginan Edhy tersebut pun turut didukung sebagian pihak, terutama Rokhmin Dahuri, politisi PDIP Perjuangan sekaligus mantan menteri KKP 2001-2004. Untuk mengetahui lebih lanjut sosok Rokhmin, sila baca (klik) artikel penulis berikut: "Inikah Sosok Pengganti Susi Pudjiastuti di Periode Kedua Jokowi?" dan "Tiga Profesor Ini Disebut Berpeluang Gantikan Susi Pudjiastuti di Kabinet".

Ringkasan dari dua artikel tersebut yakni Rokhmin memang berambisi ingin menggantikan Susi di kabinet pemerintahan jilid 2 Jokowi, namun sayang sekali, ternyata yang terpilih adalah Edhy. Penulis berani mengatakan hal ini sebab selama penggodokan struktur kabinet, penulis pernah berdiskusi dengan Rokhmin secara tatap muka.

Terpilihnya Edhy sebagai menteri lantas tidak membuat Rokhmin kecewa. Karena lewat Edhy, idealisme dan pandangan Rokhmin akhirnya tetap tersalurkan. Intinya, Edhy dan Rokhmin sepikiran dan sepemahaman. Sila baca "Bu Susi "Ngamuk" Gara-gara Dituding Hancurkan Ekonomi Sektoral", kesamaan antara Edhy dan Rokhmin akan terlihat jelas.

Mengapa Edhy Harus Butuh 22 Pejabat Baru?

Para pejabat yang dimaksud terdiri dari 13 orang Penasihat Menteri (Surat Keputusan Menteri Nomor 1/Kepmen-KKP/2020) dan 9 orang Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kelautan dan Perikanan (Surat Keputusan Nomor 2/Kepmen-KP/2020). Lebih jelas, berikut nama-nama 22 orang itu:

Penasihat Menteri: Rokhmin Dahuri (koordinator/penasihat bidang daya saing SDM, inovasi teknologi, dan riset), Hasjim Djalal (anggota/penasihat bidang hukum laut dan diplomasi maritim), Hikmahanto Juwana (anggota penasihat bidang hukum internasional), Lukman Malanuang (anggota/penasihat bidang kebijakan publik), Martani Huseini (anggota/penasihat bidang pengolahan dan pemasaran hasil perikanan), Nimmi Zulbainarni (anggota/penasihat bidang sosial ekonomi perikanan), Budi Priyanto (anggota penasihat bidang pembangunan dan pengembangan sumber daya kelautan), Jamaludin Jompa (anggota/penasihat bidang ekologi kelautan), Agus Soma (anggota/penasihat bidang kesejahteraan stakeholders kelautan dan perikanan), Laode M. Kamaluddin (anggota/penasihat bidang ekonomi maritim), Effendi Gazali (anggota/penasihat bidang komunikasi publik), Bakhtiar Aly (anggota/penasihat bidang komunikasi publik), dan Rina Saadah (anggota/penasihat bidang daya saing dan nilai tambah industri kelautan dan perikanan).

Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kelautan dan Perikanan: Muhammad Yusuf (pembina), Ali Mochtar Ngabalin (pembina), Yugi Prayatna (pembina), Effendi Gazali (ketua), Chalid Muhammad (Waketum Bidang Konservasi dan Keberlanjutan), Bayu Priyambodo (Waketum Bidang Riset dan Pengembangan), Agnes Marcellina Tjhin (Waketum Bidang Sinergi Dunia Usaha), Welnaldi (sekretaris), dan Bunga Kejora (wakil sekretaris).

Kembali ke pertanyaan, mengapa Edhy harus butuh orang sebanyak itu? Edhy mengatakan, pengangkatan penasihat dan komisi pemangku kepentingan dilakukan agar pembangunan sektor kelautan dan perikanan tidak salah arah, sesuai kajian dan nilai-nilai budaya.

"Saya harap ke depan (penasihat menteri dan komisi pemangku kepentingan menjadi backbone kita untuk memberikan nasihat, masukan agar langkah kita membangun sektor kelautan dan perikanan tidak salah. Justru kebijakan yang didasarkan atas kajian-kajian ilmiah, akademis dan budaya Nusantara," ujar Edhy di The Alana Hotel, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Senin (20/1/2020).

Baiklah bahwa demikian harapan Edhy. Semoga saja betul itu alasannya. Cuma yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa dari sekian orang yang dilibatkan, nama Susi Pudjiastuti tidak ada? Bukankah beliau mantan menteri KKP, sama seperti Rokhmin Dahuri? Apakah Susi dianggap tidak mampu berkontribusi memajukan KKP?

Mengapa pula yang diangkat adalah mereka yang kontra dengan Susi? Lihat saja, ada Rokhmin, yang diberi jabatan sebagai koordinator. Lihat pula nama-nama yang sengaja penulis tebalkan. Mungkinkah Edhy berpandangan bahwa, demi kesuksesan program, maka yang boleh dilibatkan adalah mereka yang berseberangan dengan Susi, atau pun hanya mereka yang "punya nyali" berdebat keras menundukkan pendapat publik?

Betulkah Edhy menghadirkan backbone (tulang punggung) atau justru sedang mempersiapkan "bemper" di kala menghadapi berbagai kritikan atas kebijakannya yang dirasa publik kontraproduktif? Apakah 22 orang tadi sudah siap beragumen dengan para pemerhati lingkungan hidup soal izin penggunaan cantrang bagi nelayan?

Semoga niat Edhy tidak seburuk itu. Tapi jika faktanya begitu, maka alangkah baiknya Edhy memikirkan kembali bahwa suksesnya sebuah program tidak semata karena mendapat dukungan tanpa syarat, tetapi juga disertai dengan kritikan bermanfaat. Semua program KKP wajib terarah pada kesejahteraan masyarakat serta kelestarian alam dan segala isinya. Tidak untuk salah satunya saja.

***

Referensi: KOMPAS.com [1] [2]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun