Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Makna di Balik Penetapan Status Tersangka terhadap Imam Nahrawi

19 September 2019   02:15 Diperbarui: 19 September 2019   02:31 1255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menpora Imam Nahrawi (tengah) berjalan memasuki ruang sidang untuk menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan suap dana hibah KONI dengan terdakwa Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (29/4/2019). Ending Fuad Hamidy didakwa menyuap Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Mulyana, pejabat pembuat komitmen (PPK) pada Kemenpora Adhi Purnomo dan staf Kemenpora Eko Triyanto | KOMPAS.com

Kemarin, Rabu (18 September 2019), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua orang tersangka yang diduga terlibat kasus suap penyaluran dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), yaitu Menpora Imam Nahrawi dan asisten pribadinya bernama Miftahul Ulum.

Imam disebut telah menerima uang suap sebanyak Rp 26,5 miliar sebagai commitment fee atas pengurusan proposal KONI kepada Kemenpora untuk Tahun Anggaran 2018.

Penerimaan uang oleh Imam terjadi dalam dua gelombang, yaitu Rp 14,7 miliar melalui Miftahul pada rentang waktu 2014-2018 dan Rp 11,8 miliar lagi yang diminta dalam rentang waktu 2016-2018. Semua uang digunakan untuk kepentingan pribadi.

"Sehingga total dugaan penerimaan Rp 26,5 miliar tersebut diduga merupakan commitmen fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan KONI kepada Kemenpora Tahun Anggaran 2018. Uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi Menpora dan pihak lain yang terkait," ujar Alexander Marwata, Wakil Ketua KPK (18/9/2019).

Mendengar status tersangka yang dilabelkan kepadanya, Imam membantah soal uang suap yang diterimanya. Meski demikian, ia mengaku akan menghormati proses hukum dan berharap tidak ada motif politik di balik itu semua.

"Saya berharap ini bukan sesuatu yang bersifat di luar hukum dan karenanya saya akan menghadapi dan tentu kebenaran harus dibuka seluas luasnya, selebar-lebarnya. Saya akan mengikuti proses hukum yang ada," kata Imam di rumah dinasnya (18/9/2019).

Menteri asal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut juga mengatakan, terkait nasibnya di kabinet pemerintahan, sepenuhnya diserahkan pada keputusan Presiden Joko Widodo.

"Saya belum tahu seperti apa karena saya harus bertemu dan melapor ke bapak presiden. Untuk itu saya akan menyerahkan nanti kepada bapak presiden karena saya ini pembantu pak presiden," lanjutnya.

Berdasarkan data dari situs e-LHKPN, per Maret 2018, total kekayaan Imam mencapai Rp 22,6 miliar atau lebih tepatnya Rp 22.640.556.093. Artinya jumlah uang suap yang diterimanya jauh lebih besar dibanding total kekayaannya. Dengan jadi tersangka, Imam akhirnya menjadi Menpora kedua yang tersangkut kasus korupsi. 

Pada Desember 2012 lalu, mantan Menpora Andi Malarangeng tersangkut kasus proyek Hambalang, di mana terbukti menerima uang sebanyak Rp 2 miliar dan 550.000 dolar Amerika Serikat, sehingga kemudian divonis empat tahun penjara dan membayar denda sebesar Rp 200 juta subsider 2 bulan penjara.

Selain Menpora kedua, Imam juga merupakan menteri kedua dari kabinet pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang jadi pesakitan KPK. Sebelumnya adalah mantan Menteri Sosial Idrus Marham.

Kalau dulu saat jadi tersangka Idrus langsung mengundurkan diri, tentu publik menunggu sikap Imam, apakah bakal mengikuti langkah serupa atau tetap menunggu arahan lebih lanjut dari Presiden Jokowi. Perlu diketahui, masa jabatan Imam sebagai Menpora tersisa tinggal satu bulan lagi, sebelum berakhir pada 20 Oktober 2019 nanti. 

Apakah Imam masih diberi kesempatan menjabat hingga akhir periode ini sembari menunggu keputusan hukum tetap dari pengadilan, itu semua tergantung kebijaksanaan Presiden Jokowi.

Tentu daripada menjadi semacam preseden buruk, alangkah baiknya jika Presiden Jokowi menganjurkan Imam supaya mengundurkan diri, kemudian calon menteri baru segera dicari untuk dilantik.

Penetapan Tersangka, Murni Penegakkan Hukum atau Bentuk Perlawanan KPK atas Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002?

Siapa pun pasti punya pendapat berbeda dalam menanggapi keputusan yang diambil KPK terhadap status Imam Nahrawi, termasuk di antaranya bahwa mungkin saja di sana terkandung motif politik.

Tafsir adanya motif politik sangat wajar dilakukan karena memang belum lama ini pihak KPK tengah geram-geramnya memprotes diloloskannya calon pimpinan (komisioner) baru untuk periode 2019-2023 yang dinilai bermasalah dan keputusan pemerintah bersama DPR RI yang mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Publik berharap murni demi penegakkan hukum, namun bisa juga pihak KPK sekaligus mau menunjukkan bahwa mereka masih memiliki 'taring' kuat walaupun sedang berhadapan dengan 'musuh besar'.

Sekali lagi, semoga KPK tidak bermaksud 'menampar balik' pemerintah (dan DPR RI) yang dinilai tidak peduli terhadap kondisi yang mereka alami. 

Karena sebagian orang akan bertanya, mengapa status tersangka buat Imam disematkan saat sedang ada konflik, bukan dilakukan jauh sebelumnya atau sesudahnya misalnya usai konflik agak reda.

Jika seperti itu, dapat dipastikan orang-orang di KPK tengah bermain politik balas dendam, yang mana itu sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup bernegara, utamanya dalam hal pemberantasan korupsi.

***

[1] [2] [3] [4] [5]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun