Hari ini (Minggu, 30 Juni 2019) Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih pada Pilpres 2019 untuk periode 2019-2024.
Penetapan tersebut dilakukan setelah majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh eksepsi pihak termohon (KPU) dan pihak terkait (kubu Jokowi-Ma'ruf Amin) serta permohonan pihak pemohon (kubu Prabowo-Sandiaga), pada 27 Juni yang lalu.
Publik tahu usai keputusan majelis hakim, satu kubu koalisi Pilpres 2019 yang telah dinyatakan bubar yaitu koalisi Prabowo-Sandiaga.Â
Prabowo sebagai pimpinan koalisi membebaskan partai-partai anggota untuk mengambil sikap, apakah tetap bersama Partai Gerindra atau memilih bergabung ke koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin?
Partai-partai yang dimaksud adalah Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Sejumlah pengamat pun berpendapat bahwa hampir semua partai koalisi Prabowo-Sandiaga bakal masuk ke koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin. Bahkan Gerinfra sangat mungkin melakukan itu.
Partai yang sepertinya bertahan menjadi oposisi adalah PKS. Dan kalau pun akhirnya Gerindra bersikap sama, berarti nanti cuma dua partai yang berada di luar pemerintahan.Â
Koalisi Prabowo-Sandiaga sudah bubar, lalu bagaimana dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin? Apakah harus bersama terus dan tidak boleh bubar?
Apakah berkoalisi dengan pemenang Pilpres sebuah kewajiban, yang artinya tidak ada ruang untuk menjadi oposisi meski telah sama-sama berjuang sejak awal?
Singkatnya, bisakah atau mungkinkah salah satu partai yang saat ini berada di koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin nantinya menolak bergabung di pemerintahan tapi justru jadi oposisi?
Menurut saya sangat mungkin dan bisa, walaupun memang kelihatan aneh. Masa sudah bekerja keras dan berhasil tapi kemudian malah mengabaikan semuanya.