Saya heran sampai sekarang ada banyak kalangan yang menganjurkan agar dua calon presiden peserta Pilpres 2019 yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto segera bertemu untuk rekonsiliasi atau saling memaafkan.
Bahkan ada yang berharap pertemuan tersebut dilangsungkan pada momen duka cita keluarga SBY, atau paling tidak, tepat saat lebaran. Namun nyatanya hal itu belum juga terwujud.
Pertemuan Jokowi dan Prabowo tetap dinanti, sampai-sampai suasananya diimpikan seperti silaturahmi Jokowi bersama AHY dan Ibas (5/6/2019).
Buat apa ada rekonsiliasi? Memangnya Jokowi dan Prabowo bermusuhan? Bukankah yang berkonflik selama ini adalah para pendukung mereka?
Apa yang mesti didamaikan, bukannya pihak yang dipersoalkan kubu Prabowo yakni penyelenggara Pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)?
Harus dipahami, gugatan kubu Prabowo sudah ditangani oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh sebab itu biarlah diselesaikan pula sesuai mekanisme hukum yang berlaku, tidak perlu dibawa liar ke mana-mana sehingga memicu konflik di tengah publik.
Kalau akhirnya masih ditemukan adanya manuver politik destruktif oleh individu atau kelompok tertentu, maka pentolannya yang sebaiknya diamankan, meski terindikasi berafiliasi dukungan ke salah satu pasangan capres-cawapres.
Seandainya ada masalah antara Jokowi dan Prabowo, menurut saya sungguh tidak mungkin kedua tokoh besar itu membiarkannya berlarut. Mereka pasti berinisiasi untuk saling bertemu, entah dilakukan secara terbuka atau tertutup. Pengalaman telah membuktikan hal ini.
Jadi bila masih ada yang menunggu kapan Jokowi-Prabowo rekonsiliasi, sebaiknya jangan diteruskan sikap itu. Masalah pribadi tidak ada, maka rekonsiliasi pun tidak perlu dipaksakan.
Jokowi dan Prabowo punya cara sendiri untuk mengendalikan "energi berlebihan" para pendukungnya.Â