Mohon tunggu...
Tufail Muhammad
Tufail Muhammad Mohon Tunggu... -

Warga Nahdlatul Ulama Biasa. Tinggal di Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gus Dur, Mahfud, dan Drunken Master

23 Juni 2014   19:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:33 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keputusan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mendukung dan sekaligus menjadi Ketua Tim Pemenangan capres-cawapres Prabowo-Hatta banyak menuai kritik dari masyarakat serta berbagai pengamat politik. Langkah Mahfud yang juga mantan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)ini dianggap banyak kalangan pengamat politik sebagai langkah pragmatis karena hanya mempertimbangkan kepentingan sesaat diri sendiri akibat dari “sakit hati” atas langkah PKB yang menyodorkan Jusuf Kalla sebagai cawapres dari Jokowi dalam pemilu presiden 9 Juli nanti.

Apabila kita melihat track-record Mahfud selama ini, ia dikenal sebagai sosok tegas, berintegritas, dan tidak pernah tersangkut kasus atau isu korupsi. Selain itu, Mahfud dikenal sebagai orang yang kritis. Hal itu sangat terlihat terutama saat ia menjabat sebagai Ketua MK. Oleh karena itulah masyarakat bertanya-tanya saat ia mengambil keputusan mendukung pasangan Prabowo-Hatta.

Seandainya langkah tersebut diambil oleh seorang politisi yang telah terbiasa menjadi kutu loncat, yang meloncat-loncat dari kubu satu ke kubu yang lain, dari partai satu ke partai yang lain, kemungkinan besar masyarakat tidak akan mempertanyakannya. Sayangnya, hal ini dilakukan oleh Mahfud.

Jurus Mabuk atau Sedang Mabuk?

Mahfud selama ini dikenal sebagai orang yang dekat dengan almarhum Gus Dur. Saat langkah politik Gus Dur menuai kritik dan serangan dari lawan-lawan politiknya, Mahfud kerap kali membelanya. Semisal, saat Gus Dur membekukan DPW PKB Jawa Timur, langkah tersebut menuai protes keras baik di internal PKB maupun dari luar partai. Saat itu Mahfud membela mati-matian Gus Dur.

Pembelaan tersebut bahkan dituangkannya dalam bentuk opini berjudul Jurus Mabuk Ala Jackie Chan di salah satu koran pada tanggal 28 Juli 2007. Dalam opininya, Mahfud menggambarkan bahwa Gus Dur kerap kali menggunakan jurus silat tradisional Tiongkok dalam melakukan langkah-langkah politiknya. Jurus itu adalah jurus mabuk yang dipraktikkan oleh Jackie Chan dalam film Drunken Master, gerakan yang dilakukan terkesan asal-asalan seperti gerakan orang sedang mabuk, tetapi ia memiliki tujuan mematikan musuh secara efektif.

Setiap gerakan yang dipraktikkan oleh Jackie Chan dalam film tersebut memiliki perhitungan matang dalam berkelahi dengan jawara-jawara silat. Terkadang ia menjatuhkan diri yang secara bersamaan melakukan tendangan mematikan ke perut lawan. Terkadang ia bergerak sempoyongan untuk menghindari serangan lawan kemudian dengan tiba-tiba melakukan hantaman ke ulu hati lawan. Jelas sekali jurus mabuk ini akan membuat para musuh kebingungan dalam melakukan perlawanan.

Akan tetapi, tidak semua orang bisa dan mampu mempraktikkannya. Hanya orang terlatih dengan keahlian khusus yang bisa menggunakannya. Jika pendekar jurus mabuk, semakin ia mabuk maka semakin bertambahlah kehebatannya. Namun saat jurus itu digunakan oleh orang yang tidak terlatih, maka semakin ia mabuk, alih-alih semakin hebat, justru bisa-bisa ia pingsan tak sadarkan diri. Lalu saat ia sadar, ia tidak ingat tentang apa yang telah ia lakukan.

Lantas kemudian apakah Mahfud sedang menggunakan jurus mabuk tersebut dalam pertarungan politik saat ini? Apakah Mahfud telah belajar kepada Gus Dur bagaimana cara menggunakan dan mempraktikkan jurus mabuk? Tentu pertanyaan ini hanya Mahfud sendiri yang dapat menjawabnya. Namun,bisa jadi Mahfud juga tidak dapat menjawabnya karena ia sendiri bisa saja sedang “mabuk selepas tidak terpilih menjadi cawapres Jokowi. Laiknya orang yang sedang mabuk, keputusan yang diambil lebih cenderung berdasarkan pertimbangan emosional dari pada rasional. Orang yang sedang mabuk cenderung akan meluapkan segala sisi emosionalnya serta cenderung tidak dapat dikendalikan dikarenakan aspek rasionalnya (pikiran) sedang sulit untuk difungsikan.

Jika kita menengok kembali Gus Dur, kita tahu bahwasanya langkah politiknya yang kontroversial kerap kali terjawab dan menjadi terang-benderang di kemudian hari. Itu mengapa Gus Dur dianggap oleh sebagian kalangan intelektual sebagai orang yang berpandangan jauh ke depan dan oleh kalangan nahdliyyin dianggap waliyyullah. Singkatnya, Gus Dur diyakini memiliki kemampuan weruh sakdurunge winarah. Maka akankah langkah politik Mahfud kali ini bernasib seperti itu. Namun yang selama ini kita ketahui Mahfud tidak memiliki kisah sebagaimana Gus Dur. Karena itulah kita patut ragu bahwasanya pilihan politik kontroversial Mahfud saat ini akan terjawab di kemudian hari nanti.

Dan, apa yang jauh berbeda antara Mahfud dan Gus Dur adalah kemampuan untuk berbesar hati seberat apapun kekecewaan yang dirasakan. Sejarah mencatat, saat Gus Dur diturunkan paksa dari kursi kepresidenan, ia tidak lantas membelot dan berusaha menjatuhkan Megawati. Juga saat beliau disingkirkan oleh Muhaimin Iskandar dari PKB (Partai yang ia dirikan), beliau juga tidak pindah ke partai lain untuk menghancurkan PKB. Kebesaran jiwa inilah yang tidak dimiliki Mahfud. Gus Dur juga seorang pemaaf dan penyabar. Mungkin Mahfud tidak belajar hal itu kepada Gus Dur.

Atau mungkin Mahfud telah memiliki “guru politik” baru. Dalam tulisannya di Ruang Putih Jawa Pos Minggu 22-6-2014. A. S Laksana menulis jika Amin Rais pernah menawarkan Hatta Radjasa kepada Joko Widodo sebagai cawapres. Namun, Jokowi menolaknya. Saat Hatta Radjasa telah resmi menjadi cawapres Prabowo, Amin Rais berbalik menjadi orang yang dengan lantangnya menyudutkan Jokowi dengan berbagai isu SARA.

Kita sudah sama-sama tahu jika Mahfud sejak dulu memiliki kedekatan dengan Amin Rais. Jangan-jangan Mahfud telah mengangkat Amin Rais sebagai “guru politik baru” nya. Karena itu perilaku politiknya begitu identik.

Memang, setiap orang secara personal memiliki hak menentukan sikap serta mengambil keputusan politiknya. Tidak terkecuali Mahfud. Karena itu kita harus tetap menghargai dan menghormati keputusan yang dibuatnya. Betapapun keputusan tersebut begitu tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan banyak orang. Sosok yang begitu teguh memegang prinsip, begitu berintegritas, dan begitu tegas dalam bersikap pun akhirnya rontok juga sampai-sampai mengubah haluan politiknya. Dan bagaimanapun juga, Mahfud bukanlah Gus Dur.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun