"Mereka lahir dengan gawai di tangan, mahir mencipta tren digital, namun gugup saat berbicara tatap muka. Generasi Z: generasi paling canggih sekaligus paling dilematis. Di balik filter Instagram, bisakah mereka menaklukkan dunia nyata?"Â
Generasi Z: Kreatif dan Canggih, Tapi Mengapa Gugup Saat Interview Kerja?
Mereka lahir di era digital, tumbuh bersama gawai di genggaman, dan fasih menavigasi dunia maya dengan kecepatan cahaya. Generasi Z individu yang lahir antara 1997 hingga 2012 adalah generasi yang paling adaptif terhadap teknologi (Kim Parker et al, 2019).
Mereka bisa mendesain grafis, mengembangkan konten viral, atau menganalisis data sebelum lulus SMA (Tyler Freeman, 2024). Namun, di balik kecanggihan itu, ada ironi yang menggelitik; banyak dari mereka justru gagap saat berhadapan dengan wawancara kerja.
Lantas, mengapa generasi yang begitu mahir berselancar di dunia digital justru kerap tersandung dalam interaksi tatap muka yang sederhana?
Ketika Komunikasi Verbal Jadi Tantangan Besar
Bagi Gen Z, mengekspresikan diri lewat TikTok, Instagram, atau Twitter adalah hal yang alami. Mereka bisa bercerita melalui video 15 detik, mengungkap perasaan dengan emoji, atau memikat audiens lewat caption singkat nan jenaka.Â
Namun, ketika harus menjawab pertanyaan wawancara seperti;Â
"Ceritakan kelebihan dan kelemahan Anda" secara lugas dan meyakinkan, banyak dari mereka kebingungan.
Menurut penelitian McKinsey & Company (2022), 59% perekrut mengaku Gen Z seringkali gagal menunjukkan kemampuan komunikasi interpersonal yang memadai saat interview.Â
Dunia digital mengajarkan mereka untuk berkomunikasi secara instan dan visual, sementara dunia kerja masih mengandalkan percakapan formal, kontak mata, dan kemampuan merangkai kata-kata dengan jelas.Â
Anda dapat mendengarkan penjelasan pakar mengenai Gen Z disini:Â "What's Gen Z"
Dikejar Perfeksionisme dan Takut Salah
Generasi ini tumbuh di tengah budaya instant feedback, setiap unggahan di media sosial langsung mendapat tanggapan, baik berupa like, komentar, atau kritik. Hal ini membentuk mentalitas perfeksionis, di mana mereka ingin selalu tampil sempurna dan takut membuat kesalahan.Â
Sayangnya, wawancara kerja bukanlah tempat untuk mencari validasi instan.
Laporan American Psychological Association (2020) menyebutkan bahwa Gen Z adalah generasi paling rentan stres, terutama karena tekanan sosial dan ekspektasi yang terlalu tinggi. Banyak dari mereka mengalami kecemasan berlebihan saat interview, bahkan sebelum benar-benar memasuki dunia kerja.Â
Mereka berpikir, "Bagaimana jika jawabanku salah?", "Apa recruiter akan menilaku buruk?" Padahal, kegagalan dalam wawancara adalah hal yang wajar dan bisa menjadi pembelajaran (Anna Medaris, 2023).
Terlalu Nyaman di Dunia Maya, Kurang Pengalaman di Dunia Nyata
Pandemi dan pesatnya teknologi membuat banyak Gen Z lebih banyak berinteraksi secara virtual daripada langsung (Dieguez T, 2024). Mereka mungkin jago membuat presentasi Canva atau mengelola akun bisnis online, tetapi jarang memiliki pengalaman magang, kerja tim offline, atau negosiasi langsung dengan klien (Thang Nguyen Ngoc et al, 2022).Â
Akibatnya, ketika ditanya "Bagaimana Anda menangani konflik di tempat kerja?", mereka seringkali bingung karena belum pernah benar-benar mengalaminya.
Survei Deloitte (2023)Â menemukan bahwa hanya 23% Gen Z yang merasa siap menghadapi dunia kerja profesional. Minimnya pengalaman langsung membuat mereka kurang percaya diri saat harus menjual kemampuan di depan perekrut (Michele Parmelee, 2023).
Silahkan anda dapat menyimak:Â "Speaking of Psychology - Why Gen Z is feeling so stressed,"Â bersama; DR. Emma Adam.
Sebagai contoh; di Amerika Serikat saat ini sebanyak 77% pekerja Gen Z dan 75% milenial (Gen Y), menjalani pola kerja remote atau hybrid dan menyatakan paling siap pindah pekerjaan jika diminta bekerja di lokasi kantor lain/cabang lain secara penuh waktu adalah Gen Y (milenial).Â
Sementara Gen Z akan mempertimbangkan atau menolaknya, bahkan hampir rata-rata mereka mengundurkan diri karena merasa kaku atau bingung, dan tidak terbiasa. Diketahui bahwa tingkat sosialisasi dan interaksi secara langsung oleh Gen Z sangat minim dibandingkan dengan generasi lainnya.Â
Bukan Akhir Cerita: Kolaborasi untuk Kesiapan yang Lebih Baik
Masalah ini bukanlah akhir dari segalanya. Gen Z memiliki potensi besar, mereka hanya perlu dibekali dengan pelatihan yang tepat (Labibah Alya Huwaida et al, 2024):
 ✅ Pendidikan soft skill: Pelatihan komunikasi, public speaking, dan etika profesional bisa membantu mereka lebih siap.
 ✅ Simulasi wawancara: Praktik langsung dengan umpan balik akan mengurangi kecemasan dan meningkatkan kepercayaan diri.
 ✅ Mentorship: Bimbingan dari profesional yang lebih berpengalaman dapat memberikan perspektif nyata tentang dunia kerja.Â
Di sisi lain, perusahaan juga perlu mengevaluasi proses rekrutmen. Apakah format interview yang kaku masih relevan di era digital?Â
Mungkin ada ruang untuk metode seleksi yang lebih adaptif, seperti penilaian proyek kreatif atau diskusi kasus ala brainstorming.
Berada di Tengah (Fall in between)
Data Pew Research Center membuktikan: perilaku unik Gen Z di Amerika Serikat yang dipengaruhi digitalisasi dan ketidakstabilan global sedang mengubah wajah partisipasi politik di negara tersebut (Michael Dimock, 2019).
Dalam berbagai isu, mulai dari kepresidenan Donald Trump, peran pemerintah, kesetaraan ras, hingga perubahan iklim, pandangan Generasi Z (mereka yang berusia 13-21 tahun pada 2018) mencerminkan pandangan Generasi Milenial (Kim Parker et al, 2019).Â
Gambar. Data Grafik hasil survey Pew Research Center terhadap Generasi Z (berusia 13-21 tahun pada 2018)Â

Dalam setiap aspek ini, kedua generasi muda ini memiliki perspektif yang jauh berbeda dibandingkan generasi lebih tua.Â
Dalam banyak hal, anggota Generasi Senyap/Diam (Silent Generations) berada di ujung spektrum yang berlawanan, sementara Baby Boomers dan Gen X berada di tengah.
Generasi Digital yang Masih Belajar Menjadi Manusia
Wawancara kerja (job interview) adalah momen di dunia nyata di mana generasi yang hidup di dunia maya harus membuktikan diri (Janssen & Carradini, 2021). Ini bukan sekadar tentang siapa yang lebih siap;Â
tetapi tentang bagaimana kedua belah pihak; "Gen Z dan dunia kerja" bisa saling memahami.
Generasi Z adalah generasi penuh kreativitas, inovasi, dan tekad. Mereka hanya perlu diberi kesempatan untuk menunjukkan bahwa di balik layar gadget, ada potensi manusiawi yang siap berkontribusi lebih.
Mungkin yang mereka butuhkan bukan sekadar kritik, tetapi bimbingan untuk bertransisi dari digital natives menjadi professional leaders (Cammarota & Branca, 2025).
Intisari
Dunia kerja konvensional dan generasi digital tak harus bertolak belakang. Dengan pelatihan yang tepat, Gen Z bisa mengubah kecemasan interview menjadi kepercayaan diri. Bukan tentang mengubah siapa mereka, tetapi membuka jalan bagi kreativitas mereka untuk bersinar karena masa depan bukan milik yang paling siap, melainkan yang paling adaptif.Â
Bibliografi
Referensi berbasis tautan tanpa detail bibliografi dalam artikel ini.
That's all from me today. See you in the next article! Thank you for stopping by.
"The brain modification your transmitter"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI