"Diam bukan berarti kosong. Di balik setiap 'bodo amat' tersimpan luka, protes, atau kegelisahan yang tak terucap. Ini adalah psikologi sunyi yang perlu kita dengar, bukan kita hakimi."~Ketika kata-kata terlalu sakit untuk diucapkan, manusia menciptakan bahasa diam. 'Bodo amat' hanyalah teriakan sunyi yang ingin didengar.~Â
Mengapa Ada Orang yang Sulit Mengungkapkan Pikiran?
Pernahkah Anda bertemu seseorang yang lebih memilih diam saat diajak diskusi, atau bahkan tiba-tiba mengucap, "Bodo amat!" ketika ditanya pendapatnya?Â
Di balik sikap yang terkesan acuh atau tertutup itu, seringkali tersimpan pergulatan batin yang rumit.
Tidak semua orang bisa dengan lancar menuangkan isi kepalanya ke dalam kata-kata. Bagi sebagian orang, berbicara, terutama tentang hal yang penting, bisa terasa seperti mendaki gunung tanpa bekal.Â
Mengapa demikian? Dan apa sebenarnya yang ingin mereka sampaikan melalui keheningan atau kata-kata singkat yang terkesan kasar?
Menelusuri Penyebab dan Makna di Balik Diam atau Ungkapan "Bodo Amat"
Akar Kesulitan: Kenapa Bicara Terasa Sesulit Ini? Karena setiap kata mengundang risiko ditolak, diremehkan, atau disalahpahami.Â
Bukan sekadar bicara, tapi mempertaruhkan harga diri yang rapuh.Â
1. Luka Lama yang Belum Sembuh
Bayangkan seorang anak yang pendapatnya selalu ditertawakan, atau seorang karyawan yang ide-idenya terus-menerus diabaikan. Pengalaman direndahkan seperti itu bisa meninggalkan bekas.Â
Tak heran jika akhirnya muncul pikiran, "Lebih baik diam daripada dihina lagi."Â
Trauma semacam ini bisa membungkam seseorang bertahun-tahun. Penelitian menunjukkan bahwa pengalaman sosial negatif dapat memengaruhi kemampuan komunikasi seseorang secara signifikan (American Psychological Association, 2019).
2. "Aku Tidak Cukup Baik"
Perasaan tidak percaya diri sering muncul karena kita membandingkan diri dengan orang lain. Ketakutan seperti, "Nanti dikira bodoh," atau "Pendapatku tidak penting," membuat banyak orang memilih mengunci mulut.Â
Padahal, bisa jadi yang mereka miliki justru gagasan brilian.Â
Studi tentang kepercayaan diri menemukan bahwa perbandingan sosial berlebihan dapat mengurangi keberanian seseorang untuk mengekspresikan diri (Psychology Today, 2020).
3. Budaya yang Menghukum "Sok Tahu"
Di beberapa lingkungan, anak diajari untuk "jangan banyak bicara" atau "jangan menonjol". Norma seperti ini meski bertujuan baik, namun kadang berubah jadi belenggu.Â
Alhasil, ketika dewasa, mereka terbiasa menahan diri, bahkan saat sebenarnya ingin bersuara.Â
Antropolog menemukan bahwa budaya kolektivistik cenderung membatasi ekspresi individu dibandingkan budaya individualistik (Harvard Business Review, 2018).
☑ Pikiran Terlalu Ruwet untuk Dijelaskan
Pernah merasa punya ide besar di kepala, tapi ketika mau diucapkan, malah berantakan? Ada orang yang pikirannya seperti labirin: kompleks dan saling terhubung.Â
Mereka mungkin butuh waktu lebih lama untuk merangkai kata-kata yang tepat, dan seringkali, lingkungan tidak sabar menunggu (Pinkow, 2022). Gangguan pemrosesan informasi seperti ini sering dikaitkan dengan pola pikir divergen yang kreatif (Scientific American, 2024).
☑  Gangguan Kesehatan Mental yang Tidak Terlihat
Kecemasan sosial, depresi, atau mutisme selektif bisa membuat berbicara terasa seperti tugas mustahil (Bellemare-Pepin & Jerbi, 2024). Ini bukan sekadar malu biasa tapi rasa takut yang begitu besar sampai membuat lidah serasa kaku.Â
Data dari WHO menunjukkan bahwa gangguan kecemasan memengaruhi sekitar 264 juta orang secara global, dengan banyak kasus menghambat komunikasi (World Health Organization, 2024).
Diam Bukan Berarti Kosong: Motivasi Tersembunyi di Balik Sikap "Masa Bodoh"
Ketika seseorang memilih diam atau melontarkan "Bodo amat!", jangan buru-buru menjudge mereka sebagai orang yang tidak peduli. Di balik itu, bisa ada alasan yang jauh lebih dalam:
1. "Aku Capek Disakiti"
Ungkapan "Bodo amat" seringkali adalah tameng. Setelah berkali-kali kecewa, seseorang mungkin memilih bersikap acuh sebagai cara melindungi diri. Daripada berharap lalu ditolak, lebih baik berpura-pura tidak peduli.Â
Mekanisme pertahanan psikologis ini dikenal sebagai "emotional detachment" (Wendy, 2025).
2. "Aku Ingin Damai"
Bukan tidak punya pendapat, tapi bagi sebagian orang, menjaga hubungan baik lebih penting daripada memenangkan argumen. Mereka diam karena tidak ingin memicu pertengkaran yang sia-sia.Â
Penelitian tentang konflik interpersonal menunjukkan bahwa banyak orang menghindari konflik untuk mempertahankan harmoni sosial (Jaclyn et al, 2019).
3. "Privasi itu Berharga"
Ada orang yang sengaja menutup diri karena pernah dikhianati. Bagi mereka, berbagi pikiran sama seperti memberikan senjata kepada orang lain terlalu berisiko.Â
Studi tentang kepercayaan interpersonal menemukan bahwa pengalaman dikhianati dapat mengurangi keterbukaan seseorang secara permanen (Sanna et al, 2020).
4. "Untuk Apa Juga?"
Terkadang, "Bodo amat" muncul karena merasa suaranya tidak akan mengubah apa pun. Ketika sistem atau lingkungan terus mengabaikan pendapat, muncul rasa apatis: "Ngomong juga percuma."Â
Fenomena ini disebut "learned helplessness" dan telah dipelajari secara luas dalam psikologi sosial (Charlotte, 2024).
5. "Aku Butuh Tenang"
Diam bisa jadi bentuk self-care. Di dunia yang terlalu bising, beberapa orang memilih mundur sejenak untuk menemukan ketenangan. Bukan tidak peduli, tapi sedang mengumpulkan energi.Â
Konsep ini sejalan dengan teori "restorative niche" dalam psikologi positif (Yana, 2017).
Lalu, Bagaimana Menyikapinya?
Memahami bahwa diam atau sikap "masa bodoh" tidak selalu berarti ketidaktertarikan adalah langkah pertama. Setiap orang punya ritme dan cara berbeda dalam mengekspresikan diri.
Jika Anda adalah orang yang sulit berbicara:
Coba mulai dari menulis. Kadang, pikiran lebih mudah dituangkan lewat tulisan daripada ucapan. Terapi menulis telah terbukti efektif untuk membantu ekspresi emosi (Brooks Arthur C, 2023).
Cari lingkungan yang aman, orang-orang yang benar-benar mendengar, tanpa menghakimi.
Jika Anda ingin membantu orang yang tertutup:
Beri mereka waktu. Jangan memaksa.
Tanyakan dengan lembut, "Aku ingin dengar pendapatmu, kalau kamu nyaman."
Hindari kalimat seperti "Kok diam aja sih?" itu justru bisa membuat mereka makin mengunci diri.
Intisari: Setiap Suara Berhak Didengar
Setiap "bodo amat" atau keheningan yang kita temui sebenarnya adalah pintu menuju cerita yang lebih dalam. Di baliknya, bisa ada seseorang yang pernah terluka, seseorang yang sedang berjuang dengan kecemasan, atau seseorang yang hanya butuh diyakinkan bahwa pendapatnya berharga.
Mungkin tugas kita bukanlah memaksa semua orang untuk berbicara, tapi menciptakan dunia di mana mereka merasa aman untuk bersuara, kapanpun mereka siap.
"Kata-kata yang tidak terucap bukan berarti tidak ada. Terkadang, justru itulah yang paling ingin didengar dunia." ~Â &wiekftuara
Bibliografi
Referensi berbasis tautan tanpa detail bibliografi dalam artikel ini.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1446 H. Mohon maaf lahir Bathin.Â
That's all from me today. See you in the next article! Thank you for stopping by.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI