Ziarah ke makam para ulama dan orang keramat, di Madrasatul 'Ulum Lubuak Pua sudah menjadi kelaziman sejak dulunya. Terutama saat mendekati bulan puasa, para petinggi pesantren ini banyak melakukan ziarah ke berbagai daerah yang ada di Indonesia. Masing-masing guru tuo pada umumnya jadi pimpinan ziarah setiap tahunnya. Pun ziarah keluarga besar pesantren ini juga menjadi perjalanan penting yang dilakukan tiap tahunnya. Jauhnya, ziarah yang dilakukan adalah ke tanah suci, umrah dan haji namanya. Hampir tiap tahun Ahmad Yusuf Tuanku Sidi ini mengangkut jemaah umrah. Dan ini sampai-sampai para ulama di VII Koto Sungai Sariak menjadikan almarhum sebagai pengurus Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) kecamatan itu.
Ke Aceh, makamnya Syekh Abdurrauf di Banda Aceh, hamper tiap tahun dilakukannya. Tentu, ziarah yang jauh itu mereka mulai dari Lubuak Pua sendiri, yakni makam Tuanku Bagindo. Ziarah yang juga disebut sebagai wisata relegius, adalah pelajaran penting dalam mengingat bahwa hidup manusia berujung pada kematian.
Makanya, ziarah ke makam ulama yang dianggap bertalian dan berhubungan dengan guru, atau satu paham dengan Mazhab Ahlussunnah waljamaah, itu jauhnya dijalang, dekatnya diturut. Sampai ziarah Walisongo di Pulau Jawa, sepertinya menjadi ajang mengaji dalam berhiburan. Sambil sekalian jalan-jalan.
Yang tidak kalah penting adalah sekalian menggali sejarah perjuangan para ulama dulu itu, dalam mendidik dan membangun para santri serta masyarakat lingkungannya. Para ulama yang hidupnya hanya mengabdi, tidak berharap upah dari kegiatannya. Ulama sungguhan, yang hidup dan kehidupannya diwarnai oleh ibadah.
Menyeru kepada yang baik, melawan kemungkaran dengan caranya, sehingga pengajiannya menyebar jauh ke seantero dunia, tanpa adanya batas dan sekat. Tentu, ziarah demikian adalah bagian terpenting dari menyauk nilai-nilai spiritual yang pernah ditularkan oleh ulama bersangkutan.
Itulah perjuangan para ulama dulu, yang kini makamnya diziarahi oleh keluarga besar Madrasatul 'Ulum Lubuak Pua ini. Sebutlah Syekh Burhanuddin di Ulakan, tokoh yang telah menularkan kajian Syattariyah. Lalu jauh dibawahnya, Ungku Shaliah Kiramaik, Syekh Muhammad Yatim Mudiak Padang, komplek makam Ampalu Tinggi, Syekh Tuanku Sidi Talue di Toboh Mandahiling, komplek makam Pondok Pesantren Madinatul 'Ilmi Islamiyah Buluah Kasok, Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah Lubuk Pandan, Syekh Ali Imran Hasan Ringan-Ringan, Syekh Musa Tapakis dan ulama liannya, yang menjadi ziarah penting oleh Madrasatul 'Ulum Lubuak Pua.
Mendatangi dan didatangi. Setidaknya tradisi ziarah seperti ini yang berlaku di kalangan pesantren ini. Kenapa! Ya, mendatangi, karena ziarah itu mendatangi makam ulama terdahulu, dekat diturut jauh dijalang. Saat bulan Rajab sampai puasa menjelang, para pimpinan dan pengurus pesantren ini banyak mendatangi. Seperti hari ini Afrizal Arif Tuanku Mudo memimpin rombongan ziarah ke Aceh. Lalu besoknya, John Hendri Tuanku Labai juga memimpin jemaah lain yang sudah terjadwal melakukan ziarah ke tempat lain. Begitu pula Heri Firmansyah Tuanku Khalifah juga pada hari yang lain memimpin zarah jemaahnya.
H. Zainuddin Tuanku Bagindo Basa, pengasuh pesantren ini juga ada dan pernah memimpin jemaah lain yang melakukan ziarah. Begitu pula guru tuo lainnya yang eksis di tengah masyarakat, juga sering dan menjadwalkan ziarah ini tiap tahunnya. Ziarah mendatangi itulah yang dilakukan dan dipimpin oleh Ahmad Yusuf Tuanku Sidi dulunya.
Sementara, ziarah didatangi, adalah ziarah para jemaah dan masyarakat ke Lubuak Pua. Tiap sebentar ada saja jemaah yang ziarah ke komplek makam Tuanku Bagindo, tokoh ulama yang jadi magnet Lubuak Pua ini. Pun ada pula masyarakat yang ziarah, sekalian minta kaji dengan Ahmad Yusuf Tuanku Sidi dan Zainuddin Tuanku Bagindo Basa di Surau Pekuburan itu.
Begitu juga ke Surau Pondok Ketek di Ulakan, yang dipimpin Hery Firmansyah Tuanku Khalifah, tiap sebentar ada saja jemaah yang datang. Jemaah itu ada sekedar dating dan melihat peninggalan Syekh Burhanuddin yang tersimpan di surau itu. Dan banyak pula yang mengaji dengan Tuanku Khalifah Syekh Burhanuddin ke XV ini. Alumni dan salah seorang pendiri Yayasan Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuak Pua ini sepertinya lebih banyak didatangi ketimbang mendatangi.
Baiat
Baiat atau yang lazim disebut di tengah masyarakat biaik, adalah mengaji dan berjanji kepada Yang Maha Kuasa lewat guru. Baiat ini lazim dilakukan menjelang akan mengaji tariqat. Oleh guru, para murid diwajibkan terlebih dulu baiat dengan guru. Tradisi dan kebiasaan ini dilakukan setiap akan menghadapi libur panjang atau menjelang puasa masuk di Madrasatul 'Ulum Lubuak Pua. Para santri bersama guru tuo mengikuti baiat dengan guru, yakni Ahmad Yusuf Tuanku Sidi dan Zainuddin Tuanku Bagindo Basa.
Dalam baiat itulah guru menjelaskan, bahwa kaji yang akan disampaikan diambil dari guru, guru pun berguru ke atasnya terus tiba di Nabi Muhammad SAW. Makanya, kajian baiat penting dan berkaitan dengan ziarah. Karena semua tali bertali dari bawah, yang hari ini kita berguru langsung dengan guru itu. Sementara, guru kita itu berguru pula, yang sebagian gurunya sudah meninggal dunia.
Baiat dilakukan dengan cara murid menuruti kata-kata yang diucapkan guru, sambil memegang tepi kain putih. Baiat ini tidak semata dengan guru terkait. Lazim pula, setiap tuanku yang membawa jemaah ziarah ke Koto Tuo, Kabupaten Agam, pun tiba di sana setelah ziarah juga dilakukan baiat dengan Tuanku Mudo Ismed Ismael. Di sana baiat dengan cara memegang alat tasbih. Bila tidak sampai, maka tasbih yang panjang itu disambung dengan kain putih atau mukena jemaah.
Koto Tuo oleh tuanku dan ulama di Padang Pariaman selalu dijadikan sebagai tempat ziarah sekali setahun. Hampir setiap nagari yang ada di Padang Pariaman, tiap tahun ada mengangkut jemaahnya ziarah ke Koto Tuo. Sejak dulu, karena di Koto Tuo itulah hamper seluruh ulama hebat Padang Pariaman pernah berguru di situ. Mengaji dengan Syekh Aluma, kakeknya Tuanku Mudo Ismed Ismael. Koto Tuo juga pusat Syatthariyah di Sumatera Barat ini. Rasanya bagi jemaah dan tuankunya belum afdhal ziarah, meskipun sudah tiba di Aceh dan Mekkah, kalau belum ziarah dan baiat ke Koto Tuo.
Sembahyang empat puluh
Bagi surau dan masjid yang tegak dengan Syatthariyah, dipastikan ada kegiatan yang namanya sembahyang empat puluh ini. Yakni shalat lima waktu sehari semalam secara berjemaah selama 40 hari, tidak putus sewaktu pun juga. Makanya, peserta sembahyang empat puluh hari itu adalah kebanyakan para ibu-ibu yang berusia lanjut. Mereka yang tidak lagi punya beban hidup di rumahnya, memilih melakukannya ini, karena faedahnya sembahyang empat puluh hari itu besar sekali keuntungannya.
Surau Pekuburan lazim kegiatan ini dilakukan setiap menjelang puasa masuk, dan berakhir saat akan mengakhiri puasa. Namun, meskipun kegiatan sembahyang empat puluh hari dilakukan saat itu, tiap waktu sembahyang selalu dilakukan berjemaah di Surau Pekuburan itu. Tiap waktu shalat masuk, selalu terdengar orang azan, dan para santri diwajibkan shalat lima waktunya secara berjemaah.
Ahmad Yusuf Tuanku Sidi dan Zainuddin Tuanku Bagindo Basa sebagai pengendali Surau Pekuburan yang bertambah nama dengan Pesantren Madrasatul 'Ulum ini, sejak awal melakukan kegiatan itu. Sejak mulai aktif di kampong, sepulang mengaji di Lubuk Pandan. Dan tradisi sembahyang berjemaah itu juga menjadi kewajiban di Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan, tempat Ahmad Yusuf Tuanku Sidi dan Zainuddin Tuanku Bagindo Basa menimba ilmu dulunya.
Sembahyang empat puluh hari jemaahnya tidak ditentukan. Seberapa pun yang mau ikut dan bergabung, silakan. Dengan kegiatan ini, paling tidak selama empat puluh hari, para jemaah sibuk dengan ibadah. Kegiatannya selalu diisi dengan hal yang bernilai ibadah dari waktu shalat ke waktu shalat lainnya. Mengaji, memperbanyak shalat sunnat, dan tentunya sesekali mendengarkan pengajian yang disampaikan oleh guru mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI