Mohon tunggu...
Tsamara Amany
Tsamara Amany Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Universitas Paramadina | @TsamaraDKI on Twitter

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama featured

Reformasi Sekali Lagi

7 Juli 2015   12:28 Diperbarui: 22 Mei 2020   08:11 1681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ribuan mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR saat unjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, Mei 1998.(MAJALAH D&R/RULLY KESUMA)

Hak prerogatif yang diberikan kepada Presiden menjadi setengah hati. Pemilihan Panglima TNI dan Kapolri haruslah melalui persetujuan DPR. Peraturan ini awalnya diciptakan dengan niat baik agar tidak adanya kekuasaan absolut seorang Presiden. Akan tetapi, bagaimana mungkin ini dikatakan sebagai hak prerogatif jika DPR ikut campur dalam proses penentuannya? Lagipula DPR bisa menjadi lembaga yang memberikan pertimbangan atas pilihan yang merupakan hak prerogatif Presiden, bukan lembaga penentu.

Pencalonan semacam ini menjadi ajang bargaining baru antara pemerintah dan parlemen. Belum lagi calon yang diajukan akan melakukan lobi-lobi politik terhadap anggota dewan dari komisi terkait agar disetujui.

DPR menjadi begitu sangar. Dengan keistimewaan hak-hak sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang, mereka bisa “mengancam” pemerintah. Anggap saja pemerintah membuat kebijakan yang bertentangan dengan agenda mereka, maka dengan mudahnya mereka akan menggunakan hak interpelasi, hak angket, atau bahkan hak menyatakan pendapat. Presiden – sebagai politisi – pastilah mencintai jabatannya itu. Ancaman DPR menjadi salah satu hal yang membuat Presiden dengan seksama mundur ketika ingin melakukan terobosan.

Lantas apa solusi atas masalah ini? Pergantian rezim pemerintah? Tidak. Berapa kali pun kita mengganti rezim pemerintah, hasilnya akan tetap sama saja. Permasalahan politik yang ada bukan berasal dari pemerintah, namun dari gabungan partai politik di parlemen yang merongrong kekuasaan pemerintah. DPR seharusnya menjalankan fungsi checks and balances agar kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dapat memenuhi ekspekstasi masyarakat.

Hari ini suara wakil rakyat di Senayan hampir selalu bertentangan dengan suara rakyat di jalan. Dalam rezim Orde Baru, secara jelas kita mengetahui bahwa DPR menyerap aspirasi Soeharto sebagai penguasa. Namun kini dari sepuluh fraksi di parlemen, masing-masing menyerap aspirasi Ketua Umum partai politik. Tentu aspirasi sepuluh Ketua Umum berbeda-beda, sehingga sering kali kita melihat anggota dewan berkelahi di forum tertinggi: sidang paripurna.

Reformasi belum selesai. Indonesia telah berhasil menjatuhkan rezim totaliter, namun kejatuhan rezim ini memberikan masalah-masalah baru sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Indonesia membutuhkan reformasi sekali lagi. Reformasi yang pada intinya mengembalikan sistem presidensiil sebagaimana mestinya.

Kita harus menuntut presiden untuk berani lepas dari kepentingan partai politik, berani mendobrak tanpa harus ketakutan dengan hak-hak yang dimiliki para legislator. Kita juga harus menuntut pemerintah agar bisa menempatkan menteri-menteri sesuai kompetensi, bukan karena titipan partai politik. Selain itu kita juga harus menuntut eksekutif dan legislatif untuk merevisi sejumlah undang-undang yang menyusahkan presiden dalam menentukan pembantu-pembantunya. Hak prerogatif presiden harus mutlak.

Rakyat harus menuntut wakil rakyatnya untuk menyerap aspirasi mereka dan menuangkannya ke anggaran belanja negara. Kita harus menuntut para wakil rakyat kita untuk melaporkan kinerjanya setiap kali masa reses. Mereka adalah wakil kita. Kita membayar mereka dengan uang pajak yang kita raih dari keringat kita bekerja. Rakyat harus berani melakukan sejumlah tuntutan agar demokrasi kita berjalan dengan sehat.

Gerakan massa sebagaimana yang terjadi di Orde Baru pada era saat ini mungkin tidak terlalu dibutuhkan. Namun kita bisa melakukan perjuangan melanjutkan agenda reformasi dengan berbagai jalur yang telah disediakan. Kita dapat mengajukan Judicial Review ke Mahakamah Konstitusi (MK) terkait sejumlah undang-undang yang menyulitkan hak prerogatif presiden. Bisa menyuarakan pendapat kita melalui media cetak, elektornik, serta sosial. Kita harus kritis, tidak boleh lengah. Kita harus mengawal agenda reformasi kita yang belum selesai.

Memang, Indonesia masih membutuhkan reformasi. Ya, reformasi yang mengubah tatanan politik yang kacau ini. Reformasi sekali lagi.

Tsamara Amany
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun