Mohon tunggu...
Cunyah Tantan
Cunyah Tantan Mohon Tunggu... Konsultan - Menyediakan artikel perpajakan yang mudah dimengerti oleh para pembaca.

Saat ini bergabung di Conviar Consulting Group

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Serba-serbi Bukti Potong PPh Pasal 23 dan 26 yang Perlu Diketahui (Bagian 1)

26 Juli 2020   22:15 Diperbarui: 27 Juli 2020   06:45 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

          Namun ada jenis penghasilan yang tidak dikenakan PPh pasal 23 antara lain:

  • Penghasilan yang dibayar atau terutang bank
  • Sewa yang dibayarkan /terutang sehubungan sewa guna usaha dengan hak opsi.
  • Dividen yang diterima /diperoleh Perseroan Terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia dengan syarat:
    • Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan
    • Bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.
  • Dividen yang diterima wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
  • Bagian laba yang diterima anggota persekutuan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
  • Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya.
  • Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha/jasa keuangan yang berfungsi sebagi penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan peraturan menteri keuangan.

          Pihak pemotong pajak PPh pasal 23 adalah:

  • Badan pemerintah
  • Subjek pajak dalam negeri
  • Penyelenggara kegiatan
  • Bentuk Usaha Tetap (BUT)
  • Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya

Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk Dirjen Pajak yaitu : 

  1. Akuntan, arsitektur, dokter, notaris, PPAT kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.         
  2. Orang pribadi yang menjalankan usaha dan menyelenggarakan pembukuan. Namun wajib pajak orang pribadi tersebut hanya boleh melakukan pemotongan PPh pasal 23 atas sewa dan telah memiliki surat keputusan penunjukan sebagai pemotong pajak penghasilan pasal 23 yang diterbitkan Kantor Pelayanan Pajak.

          Sedangkan pihak penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 23 adalah:

  1.  Wajib pajak dalam negeri (orang pribadi atau badan usaha)
  2.  BUT (Bentuk Usaha Tetap)

Namun ada hal penting yang harus diperhatikan, apabila penerima penghasilan tidak memiliki NPWP, tarif PPh 23 yang dipotong menjadi 100% lebih tinggi.Untuk memudahkan pemahaman PPh pasal 23 akan diberikan ilustrasi perhitungannya sebagai berikut;                                                                           Pada bulan Agustus 2019, PT. Napas memberikan royalti kepada Angelina sebagai penulis buku sebesar Rp 100 juta. Angelina tidak memiliki NPWP. PPh pasal 23 yang dipotong PT. Napas adalah sebesar 200% x 15% x Rp 100 juta = Rp 30 juta.

            PPh pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan luar negeri atas pembayaran yang dilakukan kepada wajib pajak luar negeri selain BUT di Indonesia. Besarnya tarif PPh pasal 26 adalah 20% dari jumlah bruto dan bersifat final atas:

  • Dividen.
  • Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan jaminan pengembalian hutang.
  • Royalti, sewa, penghasilan lain sehubungan penggunaan harta.
  • Imbalan berhubungan jasa, kegiatan, pekerjan.
  • Hadiah dan penghargaan.
  • Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
  • Premi, SWAP dan transaksi lindung nilai.
  • Keuntungan karena pembebasan hutang.

Namun penghasilan yang diperoleh dari panjualan atau pengalihan harta di Indonesia kecuali diatur dalam pasal 4 ayat 2 yang diterima/diperoleh wajib pajak luar negeri selain BUT di Indonesia dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri dipotong pajak 20% dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto. Namun tarif 20% tersebut bisa berubah apabila negara asal wajib pajak luar negeri mengikuti tax treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia. Besarnya tarif dalam P3B biasanya untuk mengurangi tingkat tarif normal 20% dan mungkin saja memiliki tarif 0%. Untuk memudahkan pemahaman PPh pasal 26, akan diberikan ilustrasi perhitungannya sebagai berikut:                                                                         Rowan Atkinson adalah karyawan asing berasal dari Denmark. Pada bulan April 2019 Rowan Atkinson memperoleh gaji USD 10,000 perbulan. Kurs yang berlaku menurut Menteri Keuangan adalah 1 USD = Rp. 13,997. Dengan asumsi tidak ada P3B antara Denmark dengan Indonesia, maka PPh 26 yang dipotong untuk bulan April 2019 sebesar 20% x (USD10,000 x Rp.13,997) = Rp.27,994,000 (bersifat final).

           Pada bagian selanjutnya akan dibahas tentang bukti pemotongan PPh pasal 23 dan PPh pasal 26. Aturan yang menjadi landasan hukum untuk bukti pemotongan PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2017 yang mulai berlaku tanggal 31 Maret 2017. Hal-hal yang diatur dalam PER-04 tersebut antara lain:

  • Bentuk, isi dan tata cara pengisian dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa (SPT masa) PPh pasal 23 dan/atau pasal 26.
  • Bentuk bukti pemotongan pajak penghasilan pasal 23 dan/atau pasal 26.

            SPT masa PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 terdiri dari:

  • Induk SPT masa PPh pasal 23 dan/atau pasal 26.
  • Daftar bukti pemotongan PPh pasal 23 dan/atau pasal 26.
  • Daftar surat setoran pajak, bukti penerimaan negara dan/atau bukti pemindahbukuan untuk penyetoran PPh pasal 23 dan/atau pasal 26. Yang dimaksud pemindahbukuan adalah suatu proses memindahbukukan penerimaan pajak untuk dibukukan pada penerimaan pajak yang sesuai.

           Pemotong pajak wajib membuat dan memberikan bukti pemotongan kepada penerima penghasilan yang dipotong pajak. Pemotong pajak diperkenankan membuat satu bukti pemotongan untuk menggabungkan dua atau lebih transaksi dengan ketentuan satu bukti pemotongan yang dibuat hanya dapat digunakan untuk satu wajib pajak, satu kode pajak dan satu masa pajak. Pihak pemotong harus membuat bukti potong apabila:

  • Jumlah PPh pasal 23 yang dipotong nihil karena adanya Surat Keterangan Bebas.
  • Jumlah PPh pasal 26 yang dipotong nihil karena adanya Surat Keterangan Domisili.
  • PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 yang terutang ditanggung pemerintah yang diatur dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

            Pemotong pajak dapat menyampaikan SPT masa pasal 23 dan/atau pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) dengan ketentuan :

  • Menerbitkan tidak lebih dari dua puluh bukti pemotongan dalam satu masa pajak; dan
  • Jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar pengenaan pajak penghasilan tidak lebih dari seratus juta rupiah untuk setiap bukti pemotongan dalam satu masa pajak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun