Mohon tunggu...
Triyatni Martosenjoyo
Triyatni Martosenjoyo Mohon Tunggu... -

dosen, arsitek, di Program Studi Arsitektur Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kawan Temanku, Koruptor

11 Mei 2014   02:43 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:38 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dasar pengkhianat! Dua kata itu berulang kali diucapkan dengan suara bergetar marah. Di keremangan antara Maghrib dan Isya di dalam mobil tua saya, wajah mantan pejabat tertinggi kabupaten itu tetap nampak merah membara. Dia meminta pendapat saya tentang sikap para bekas bawahannya yang menjadi saksi memberatkan saat dia menghadapi pemeriksaan yang luar biasa berat di kantor Kejaksaan Tinggi. Bersama temanku, kami menjemput dan mengantarkan pulang ke kompleks perumahan elite di sebuah rumah besar bernilai milyaran rupiah.

Secara pribadi saya tak mengenal pak Nanu, tetapi saya terbiasa melihat fotonya dalam ukuran besar pada dinding di bawah potret Bung Karno di rumah Dody teman saya. Teman saya adalah pemuja pak Nanu yang dikategorikan sebagai bupati termuda saat itu. Sebagai teman baik, teman saya ikut menikmati banyak kemudahan untuk mendapatkan rejeki di kabupaten yang dipimpin pak Nanu. Mereka bukan saja teman bisnis, tetapi juga teman bersantai “menikmati dunia” di luar jam kerja. Maka ketika pak Nanu terkena kasus penyalahgunaan uang negara yang cukup besar dan dia jadi bulan-bulanan jaksa, saya heran karena mendengar kalau ternyata Dody tidak pernah menengoknya. Saya mengingatkan bahwa Dody harus mau menyediakan waktu untuk menengok pak Nanu sesibuk apapun dia, bukan untuk ikut menyelesaikan persoalan, melainkan untuk hiburan bahwa temannya ternyata tetap teman di saat dia menghadapi kasus yang bisa menyeretnya ke penjara. Awalnya Dody menolak takut dengan berbagai resiko bisa dijadikan target oleh kejaksaan, tetapi entah mengapa kemudian Dody meminta saya bersedia menemaninya mengunjungi pak Nanu.

Saya tidak bertanya mengapa Nanu begitu takut masuk ke kantor Kejaksaan yang bagi saya sama saja dengan kantor-kantor lainnya. Karena itu saya juga tidak keberatan saat dia meminta agar menggunakan mobil saya. Setelah sampai di hall ruang pemeriksaan, barulah saya mengerti ketakutan Dody. Ruang ini sudah dipenuhi oleh wartawan berbagai media cetak maupun elektronik. Udara sesak membuat nafas tak nyaman. Dody berdiskusi dengan seorang wanita mantan bawahan pak Nanu yang matanya sembab. Dia menjelaskan betapa orang-orang yang setiap hari ke rumah pak Nanu, masuk hingga kamar tidur untuk menikmati semua kemewahan yang ada disana, justru menyerahkan dengan suka rela semua bukti-bukti kesalahan yang memberatkan.

Tak tahan mendengar cerita dan menunggu lama, Dody mengajak saya keluar menunggu di mobil yang kebetulan bisa diparkir di bawah pohon di samping mesjid. Ada sekitar lima jam kami menunggu dalam kebosanan kapan pemeriksaan selesai, akhirnya Dody meminta saya untuk membawa mobil menuju pintu gedung pemeriksaan. Dia masuk ke dalam bangunan untuk mengecek keadaan pak Nanu. Sepuluh menit menunggu, tiba-tiba Dody menyeruak dari kerumunan orang masuk ke mobildan meminta saya pindah dari kursi setir. Dody segera melarikan mobil dengan kecepatan tinggi, menuju rumah pak Nanu.

Rumah besar yang masih berbau cat itu benar-benar sangat mewah. Di teras nampak sepasang tanaman pachira aquatica lambang keberuntungan dan panjang umur. Ruang tamu yang terbuka memperlihatkan sofa kulit terbaru berharga puluhan juta. Konon rumah ini mempunyai basement yang didesain lengkap untuk fasilitas berpesta layaknya bar-bar kelas tinggi. Kami masuk ke halaman belakang menemui nyonya rumah. Di halaman anak-anak pak Nanu bermain seolah tak mengetahui masalah yang dihadapi orang tuanya. Nyonya rumah meminta pembantu menyediakan makan bagi Dody yang merasa lapar karena belum makan sejak pagi hari. Asam lambungku tiba-tiba meledak ingin tumpah ke luar. Bagaimana mungkin seorang ayah didakwa mencuri uang negara sekian milyard dan tidak nampak ada suasana prihatin di rumah ini?

Sebelum isi perut keluar, saya mengajak Dody untuk segera pulang. Tak ada gunanya berbagi di samping orang yang tidak merasa susah bahkan ketika penjara siap menyambutnya. Saya membayangkan kejadian sepuluh menit di mobil ketika pak Nanu marah akan pengkhianatan mantan staf yang sudah ikut menikmati kemewahan yang diberikannya. Hanya satu orang staf wanita yang setia mendampingi saat pemeriksaan. Bahkan istri, anak dan keluarganya tidak ada yangmerasa perlu menemani di kejaksaan. Pak Nanu sibuk menyalahkan orang-orang yang mengkhianatinya, tetapi tidak sekalipun melakukan refleksi mengapa semua itu bisa terjadi. Dia tidak pernah mau meluangkan waktu sedetikpun untuk mengakui walau sekedar dalam hati bahwa yang dilakukannya salah. Baginya tuduhan yang dikenakan hanya karena kebetulan kena sial saja ada staf yang berkhianat. Orang-orang seperti pak Nanu dan keluarganya punya konsep sendiri tentang kekuasaan, tentang moralitas, tentang kehidupan. Tak ada gunanya berusaha menjelaskan bagaimana negara ini terpuruk karena korupsi, berapa juta rakyat yang tak bisa bersekolah atau sekedar makan karena ulah mereka. Bagaimana kita tidak dapat berdiri tegak akibat malu negara kita masuk dalam kategori tingkat korupsi tertinggi.

Saya memandangi koran terbitan sehari kemudian. Di halaman dua termampang tulisan besar, pak Nanu dijemput seorang wanita berkulit putih dengan mobil plat DD sekian sekian. Kemudian saya mendengar rumah besar milik pak Nanu disita. Sebelumnya satu demi satu perabotan di ambil kembali oleh penjual karena rekanan mitra pak Nanu dulu tak kunjung melunasi tagihan. Dia juga terdengar masuk keluar rumah sakit karena jantung. Entah itu bagian dari sandiwara menghindari hukuman atau benar-benar sakit. Kalau hatinya tetap hati manusia, seharusnya dia memang kena serangan jantung menghadapi tudingan rakyat. Apapun yang terjadi, saya merasa tidak perlu tahu apa yang terjadi pada orang-orang seperti pak Nanu, karena saya tak bisa mengerti konsep hidup mereka sebagai manusia. Bagi mereka, saat mendapat jabatan itu berarti mereka sudah menjadi “tuhan” yang punya hak untuk melakukan apa saja yang berada dalam kekuasaannya, membelanjakan uang negara (baca: rakyat) untuk kepentingan pribadi bersama keluarga, dan mereka tentu akan keberatan kalau dikatakan koruptor.-

Makassar, 24 Juli 2008

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun