Sebagian besar keluarga di Indonesia memandang anak bungsu sebagai sosok manja, lucu, dan selalu ceria. Stereotip ini mengakar kuat dalam budaya populer, mulai dari cerita rakyat, sinetron, hingga percakapan sehari-hari. Anak bungsu kerap dianggap hidup lebih mudah karena kakak-kakaknya telah "merintis" jalan hidup terlebih dahulu. Ia dipercaya mendapat perhatian paling besar dari orang tua, dilindungi dari konflik, dan tak perlu banyak bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan keluarga. Namun, benarkah si bungsu selalu bahagia? Apakah senyuman mereka mencerminkan kenyamanan batin, atau justru menutupi tekanan emosional yang tak terlihat?
Stereotip Budaya dan Realitas Psikologis
Dalam masyarakat patriarkal Indonesia, struktur keluarga besar kerap menetapkan peran-peran khusus bagi setiap anak berdasarkan urutan kelahiran. Anak sulung biasanya dibebankan tanggung jawab besar sebagai pemimpin, anak tengah dikenal sebagai penengah atau penjaga keseimbangan, sementara anak bungsu dianggap sebagai "pembawa keceriaan". Peran ini tampak ringan dan menyenangkan, namun sebenarnya menyimpan jebakan sosial dan psikologis yang tak sedikit.
Tanpa disadari, konstruksi peran ini menciptakan ekspektasi sosial yang tidak selalu selaras dengan kebutuhan emosional anak. Anak bungsu yang diharapkan untuk selalu tampil ceria sering merasa terbebani untuk terus memenuhi peran tersebut, bahkan ketika hatinya sedang tidak baik-baik saja. Banyak dari mereka belajar menutupi kesedihan dengan senyuman karena takut mengecewakan ekspektasi keluarga.
Penelitian oleh Sulloway (1996) dalam bukunya Born to Rebel, menunjukkan bahwa urutan kelahiran memengaruhi kepribadian. Anak bungsu cenderung lebih terbuka terhadap pengalaman baru, lebih kreatif, dan berani mengambil risiko. Namun, di sisi lain, anak bungsu juga sering mengalami kesulitan dalam membentuk identitas independen karena hidup dalam bayang-bayang prestasi atau karakter kakak-kakaknya.
Studi lanjutan oleh Paulhus et al. (1999) dalam Journal of Personality and Social Psychology menemukan bahwa anak bungsu lebih rentan merasa tidak dianggap serius oleh anggota keluarga, terutama ketika mereka mencoba mengekspresikan emosi negatif seperti stres, kecemasan, atau rasa lelah mental. Mereka kerap dicap "lebay" atau "manja" hanya karena menyuarakan perasaan yang sebenarnya sah untuk dirasakan oleh siapa pun.
Realita di Indonesia: Antara Harapan dan Kebutuhan
Gambaran tersebut juga tercermin dalam data lokal. Studi oleh Pusat Kajian Kependudukan dan Kebijakan Universitas Indonesia (PKK UI, 2023) terhadap 1.500 keluarga di wilayah urban dan semi-urban mengungkap fakta mencemaskan. Sebanyak 62% responden menganggap anak bungsu sebagai anggota keluarga yang paling "bebas" dan "paling disayang". Namun, ironisnya, 45% anak bungsu dalam survei yang sama merasa sering dibandingkan dengan saudara kandung mereka, dan 39% menyatakan bahwa kebutuhan emosional mereka tidak didengar secara serius oleh orang tua.
Temuan ini didukung oleh laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2022), yang mencatat bahwa dalam 20% kasus tekanan psikologis pada remaja, dinamika keluarga yang tidak seimbang menjadi akar masalah. Sering kali, ekspektasi orang tua yang tidak proporsional serta komunikasi yang buruk terhadap anak bungsu berkontribusi besar terhadap munculnya gejolak emosional. Anak bungsu dianggap "penyejuk suasana" tetapi tidak dilatih menghadapi konflik, sehingga mudah merasa cemas dan tidak percaya diri ketika menghadapi realitas sosial di luar keluarga.
Senjata Bermata Dua: Perhatian yang Semu
Ironisnya, perhatian yang tampak berlebihan kepada anak bungsu sering kali bukan bentuk kasih sayang sejati, melainkan bentuk kontrol atau perlindungan yang mengekang. Anak bungsu jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting keluarga dengan dalih "belum cukup dewasa". Padahal, kesempatan untuk dilibatkan justru penting dalam membangun kepercayaan diri dan rasa tanggung jawab.