Mohon tunggu...
Tri Sukmono PBS
Tri Sukmono PBS Mohon Tunggu... Dosen - Tenaga Pengajar pada STKIP Bina Mutiara Sukabumi, Auditor pada Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi

Hobi membaca, senang menjadi narasumber di Bidang Manajemen Risiko

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meningkatkan Perilaku Etis

1 Mei 2024   19:05 Diperbarui: 1 Mei 2024   19:21 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam organisasi yang diwarnai dengan pengurangan karyawan, harapan peningkatan produktivitas pekerja, dan kompetisi yang berat di pasar, tidak mengejutkan bahwa banyak karyawan merasa tertekan sehingga berbuat asal-asalan, melanggar peraturan, dan terlibat dalam praktik-praktik yang diragukan kejujurannya. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah apabila Internal audit yang merupakan bagian dari sistem yang berfungsi untuk menjaga agar proses organisasi bisa berjalan semestinya ikut terlibat praktik-praktik ketidakjujuran yang sedang berjalan. Keduanya dalam kondisi yang baik karyawan atau pun auditor berada dalam tekanan terhadap suatu tuntutan yang sedang mereka alami baik itu tuntutan dari pekerjaan maupun tuntutan akan gaya hidup.

Para anggota organisasi semakin merasa diri mereka menghadapi dilema etika, situasi di mana mereka diharuskan mendefiniskan kelakuan yang benar dan yang salah. Sebagai contoh, haruskah mereka membongkar kebenaran jika mereka menemukan aktivitas ilegal yang terjadi di perusahaan atau organisasi mereka? Haruskah mereka mengikuti perintah yang tidak mereka setujui? Apakah mereka memberikan evaluasi kinerja yang berlebihan untuk seorang karyawan yang mereka sukai karena mengetahui bahwa evaluasi semacam itu bisa menyelamatkan pekerjaan karyawan tersebut? Apakah mereka mengizinkan diri mereka sendiri untuk "bermain politik" dalam perusahaan atau organisasi apabila permainan tersebut akan membantu kemajuan karier mereka?

Apa yang merupakan perilaku beretika tidak pernah didefinisikan dengan jelas, dan selama tahun-tahun terakhir batas yang membedakan hal yang benar dan yang salah menjadi semakin samar. Karyawan melihat individu di sekeliling mereka terlibat dalam praktik-praktik tidak etis---pejabat terpilih dinyatakan menggelapkan laporan keuangan atau melakukan gratifikasi dan penyuapan; eksekutif organisasi memperbesar keuntungan perusahaan sehingga mereka bisa menguangkan opsi saham mereka yang menguntungkan. Ketika ketahuan, Anda mendengar individu-individu ini memberikan alasan-alasan seperti "semua orang melakukannya"  atau "Anda harus memanfaatkan kesempatan yang ada saat ini". Apakah mengherankan jika karyawan menunjukkan kepercayaan yang menurun dalam manajemen dan mereka semakin tidak yakin tentang apa yang merupakan perilaku etis yang tepat dalam organisasi?"

Manajer dan organisasi merespon masalah ini dari sejumlah arah. Mereka menulis dan mendistribusikan kode-kode etika untuk membimbing karyawan menyelesaikan dilema etika. Mereka memberikan seminar, lokakarya, dan program pelatihan yang serupa untuk berusaha meningkatkan perilaku etis. Mereka menyediakan penasihat yang mudah dihubungi, dalam banyak kasus tanpa diketahui namanya, untuk membantu menghadapi persoalan-persoalan etika dan menciptakan mekanisme perlindungan untuk karyawan yang menyingkap perbuatan-perbuatan tidak etis internal.

Manajer saat ini harus menciptakan iklim etis yang sehat untuk karyawannya, sehingga karyawan bisa melakukan pekerjaan mereka dengan produktif dan menghadapi sedikit ambiguitas terkait apa yang merupakan perilaku yang benar dan yang salah.

Apakah itu Etika?


Bicara tentang etis, mari sedikit mundur dengan membahas definisi. Dalam buku Auditing and Asurance Service An Integrated Approach Alvin A. Arens mendefinisikan ektika sebagai rangkaian prinsip atau nilai-nilai moral. Setiap orang di dalam organisasi memiliki rangkaian nilai tersebut, walaupun seringnya tidak memperhatikan secara eksplisit atau dengan kata lain sering lupa. Sebagian masyarakat mendefinisikan perilaku tidak etis sebagai tindakan yang berbeda dengan tindakan masyarakat pada umumnya yang mereka percayai merupakan tindakan yang tepat yang seharusnya dilakukan dalam situasi tertentu.

Perilaku beretika wajib hukumnya agar kehidupan di masyarakat dapat berjalan teratur. Etika merupakan perekat yang dapat mengikat erat setiap anggota masyarakat, dapat dibayangkan bila di dalam masyarakat yang tidak memilki kepercayaan bahwa orang-orang yang berada di dalamnya telah berlaku jujur, tentu sangat tidak mungkin dapat dicapai komunikasi yang efektif. Kebutuhan etika dalam masyarakat sangat mendesak sehingga masyarakat di manapun memasukan nilai-nilai etika ke dalam undang-undang atau peraturan.

Terdapat dua alasan utama mengapa seseorang bertindak tidak etis:

  • Standar etika seseorang berbeda dengan standar etika yang berlaku di masyarakat
  • Seseorang memilih untuk bertindak secara egois nilai-nilai pribadinya meski itu bertentang dengan nilai-nilai di masyarakat.

Terdapat banyak alternatif untuk menyelesaikan dilema-dilema etika, tetapi perhatian serius harus diberikan untuk menghindari terlaksananya metode-metode yang merasionalisasikan perilaku tidak etis.

Argumentasi bahwa merupakan perilaku yang wajar bila dapat memalsukan pajak penghasilan, mencontek saat ujian, atau menjual produk yang cacat mutunya umumnya berdasarkan pada rasionalisasi bahwa setiap individu lainnya pun melakukan hal tersebut dan hal itu merupakan perilaku yang wajar.

Rasionalisasi di atas sebenarnya tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki pasangan. Pasangannya itu berada dalam hati dan pikiran sehat setiap individu, yaitu biasanya pribadi individu itu sendiri akan menilai atau mempertimbangkan kerasnya tingkat penalti atau hukuman sebagai konsekuensi yang akan diterima bila hal itu terbongkar. Beberapa contoh misalnya:

  • Seorang penjual apakah ia akan memutuskan mengoreksi suatu kelebihan tagihan yang tak sengaja dibuat pada seorang pelanggan saat pelanggan telah membayar penuh tagihannya. Jika sipenjual percaya bahwa pelanggan itu akan mendeteksi kesalahan itu sebagai responnya sang pelanggan tidak pernah membeli lagi kepadanya.
  • Seorang jaksa yang menerima gratifikasi dari orang yang kasusnya sedang di tangani. Jaksa itu sebenarnya menyadari bahwa bila hal itu diketahui oleh media atau masyarakat umum, maka masyarakat akan merespon dengan bentuk ketidakpercayaan terhadap lembaga peradilan.
  • Auditor yang menerima gratifikasi atau menerima jamuan makan setiap malam dari klien, bila hal itu diketahui oleh pihak-pihak yang menggunakan laporan hasil auditnya maka sebagai responnya pihak pengguna akan meragukan independensi auditor dan mengajukan gugatan hukum,  dampak selanjutnya adalah secara etis lembaga audit harus menarik kembali laporan-laporan audit yang telah dikeluarkannya.

Dalam tahun-tahun terakhir, permasalahan etis pada lembaga penegak hukum dan audit telah menjadi sorotan. Perlu ada upaya untuk menyusun kerangka-kerangka kerja resmi untuk membantu masyarakat menyelesaikan dilema etika. Tujuan dari suatu kerangka kerja adalah mendefinisikan berbagai isu etika dan memutuskan rangkaian tindakan yang tepat dengan menggunakan nilai-nilai yang dianut individu. Alvin A. Arens  mengajukan enam langkah untuk melakukan pendekatan yang relatif sederhana dalam masalah ini:

  • Memperoleh fakta-fakta yang relevan
  • Mengidentifikasi isu-isu etika berdasarkan fakta-fakta tersebut
  • Menentukan siapa yang akan terkena pengaruh dari keluaran(outcome) dilema tersebut dan bagaimana cara masing-masing pribadi atau kelompok dipengaruhi
  • Mengidentifikasikan berbagai alternatif yang tersedia bagi pribadi yang harus menyelesaikan dilema tersebut
  • Mengindentifikasikan konsekuensi yang mungkin terjadi pada setiap alternatif
  • Memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan.

Fakta-fakta terkait pelanggaran etis bisa ditemukan dalam banyak kondisi kerja, misalnya dalam pekerjaan audit telah ditetapkan untuk mencatatkan tanggal dan jam kerja setiap harinya, namun staf audit senior memerintahkan kepada junior untuk tidak mencatatkan jam kerja, hal ini kemudian diperkuat oleh staf junior lain yang mengatakan hal ini merupakan praktek yang sudah umum. Isu etika dalam situasi seperti ini tidaklah sulit untuk diidentifikasi, apakah merupakan hal yang etis untuk bekerja selama berjam-jam dalam beberapa hari tidak dicatatkan sebagai jam kerja?

Umumnya terdapat banyak individu yang dipengaruhi dalam situasi di mana dilema etika terjadi, sehingga mengharuskan untuk mencari alternatif-alternatif yang setiap alternatif itu juga tidak bebas dari potensi konsekuensi.

Masyarakat telah melekatkan pengertian khusus terkait etis dalam istilah profesional. Seorang profesional diharapkan dapat mengarahkan dirinya pada suatu tingkat tindakan di atas tindakan yang dilakukan sebagian besar anggota masyarakat. Misalnya, media koran memberitakan seorang auditor telah didakwa melakukan suatu kejahatan profesi, maka masyarakat akan merasa lebih kecewa dibanding bila hal yang sama dilakukan oleh orang yang tidak memiliki cap sebagai seorang profesional.

Istilah profesional menunjukkan tanggungjawab untuk bertindak melebihi kepuasan yang dicapai oleh seorang profesional itu sendiri atas pelaksanaan tanggungjawab yang dibebankan kepadanya maupun melebihi ketentuan yang disayaratkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku dalam masyarakat. Alasan utama diperlukannya tingkat tindakan profesional yang tinggi oleh setiap profesi adalah kebutuhan akan keyakinan publik atas kualitas layanan yang diberikan oleh profesi, tanpa memandang masing-masing individu yang menyediakan layanan tersebut.

Merupakan hal yang tidak praktis bagi para pengguna jasa apabila mereka harus mengevaluasi atas layanan yang mereka terima, mayoritas pengguna jasa tidak memiliki kompetensi maupun waktu yang cukup untuk melakukan evaluasi atas setiap layanan profesional. Oleh karena itu merupakan suatu kebutuhan bahwa peraturan etika harus dipublikasikan, agar setiap pengguna jasa profesi dapat memahami apa yang menjadi haknya sebagai konsumen, karena sebagian isi kode etis merupakan layan standar mutu yang seharusnya diterima setiap pelanggan. Salah satu kode etik yang sangat membedakan antara profesi auditor dengan profesi lain adalah auditor dituntut untuk dapat menjaga independensi.

Nilai hasil pekerjaan audit sangat bergantung pada persepsi publik akan independensi yang dimiliki auditor.  Independensi dalam audit berarti mengambil sudut pandang yang tidak bias dalam melaksanakan ujian audit, mengevaluasi hasilnya, dan membuat laporan audit. Bila auditor merupakan penasehat dari klien yang diaudit, maka auditor tidak bisa dianggap independen. Independensi adalah karakteristik auditor yang paling kritis. Mempertahankan perilaku yang independen bagi auditor dalam memenuhi tanggungjawabnya adalah penting, untuk itu maka pada setiap profesi wajib dibentuk adanya Komite audit atau dewan etik. Komite audit atau dewan etik adalah sejumlah anggota terpilih yang tanggungjawabnya membantu auditor untuk tetap independen. Yang sangat penting dalam pelaksanaan dari fungsi dewan etik adalah komitmen yang kuat untuk menegakkan sanksi kepada auditor yang melakukan perbuatan yang melanggar etis profesi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun