Mohon tunggu...
Trisno Widodo
Trisno Widodo Mohon Tunggu... Guru

Catatan Pemerhati Pendidikan dan Sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

FOMO DAN JOMO, Menyeimbangkan Hidup Digital GEN Z

10 Juli 2025   07:24 Diperbarui: 10 Juli 2025   07:24 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menikmati Ketenangan dalam Kesederhanaan (Pexels.com/Kampus Production)

Di era digital yang serba cepat ini, Gen Z menghadapi dilema antara FOMO (Fear of Missing Out) dan JOMO (Joy of Missing Out). Kedua fenomena psikologis ini membentuk cara mereka berinteraksi dengan dunia digital dan sosial. Pertanyaannya, mana yang paling pas untuk gaya hidup Gen Z saat ini?

Ketika FOMO Mengintai: Kecemasan karena Takut Ketinggalan

FOMO adalah rasa cemas atau khawatir akan melewatkan pengalaman menyenangkan yang orang lain bagikan, terutama di media sosial. Platform seperti Instagram dan TikTok memperparah perasaan ini karena semua orang seolah berlomba memamerkan momen terbaiknya.

Penelitian Pew Research Center tahun 2022 menunjukkan bahwa banyak remaja dan dewasa muda merasa tidak cukup baik atau suka membandingkan diri di media sosial. Tekanan untuk selalu update dengan tren, acara, atau pencapaian teman memicu kebiasaan mengecek notifikasi terus-menerus, bahkan sampai mengganggu tidur dan konsentrasi. FOMO bisa berujung pada kecemasan sosial, rasa rendah diri, hingga kelelahan mental akibat terlalu banyak informasi.

JOMO: Menikmati Ketenangan dalam Kesederhanaan

Berbeda dengan FOMO, JOMO adalah perasaan puas dan bahagia karena tidak terlibat dalam semua aktivitas sosial atau digital. Ini adalah sikap yang mengutamakan kesehatan mental dan kesejahteraan pribadi di atas tuntutan untuk selalu terhubung atau mengikuti tren. JOMO mendorong kita untuk lebih hadir di momen sekarang, menghargai waktu sendiri, dan fokus pada hal yang benar-benar penting.

Konsep JOMO semakin relevan karena banyak yang sadar akan dampak buruk paparan digital berlebihan. Menerapkan JOMO bisa sesederhana mematikan notifikasi ponsel saat berkumpul, memilih membaca buku daripada scrolling, atau menolak ajakan yang tidak sesuai prioritas. Ini adalah bentuk kontrol diri untuk mendapatkan kembali waktu dan energi yang sering terkuras oleh dunia digital. Psikolog Dr. Kate Sweeny menegaskan, JOMO bukanlah isolasi, melainkan pilihan sadar untuk kebaikan diri sendiri.

Mana yang Terbaik untuk Gen Z?

Tidak ada jawaban tunggal yang mutlak. Keduanya adalah respons terhadap lingkungan digital yang intens. Namun, melihat masalah kesehatan mental yang dihadapi Gen Z, JOMO menawarkan solusi yang lebih baik dan berkelanjutan.

Gen Z tumbuh di tengah lautan informasi dan perbandingan sosial. Tekanan untuk tampil sempurna di media sosial dan selalu terhubung bisa memicu stres kronis dan kecemasan. Menerapkan JOMO dapat membantu Gen Z untuk:

  1. Meningkatkan Kesehatan Mental: Mengurangi paparan konten yang memicu kecemasan bisa memperbaiki mood dan mengurangi stres.
  2. Membangun Hubungan Lebih Dekat: Mengurangi gangguan digital memungkinkan Gen Z lebih fokus pada interaksi langsung dan hubungan yang lebih tulus.
  3. Meningkatkan Produktivitas: Waktu yang tadinya dipakai untuk scrolling bisa dialihkan untuk pengembangan diri atau hobi.
  4. Mengenali Diri: JOMO mendorong refleksi diri tentang apa yang benar-benar membuat bahagia, bukan sekadar mengikuti standar orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun