Saya baru saja mendengarkan sebuah kisah klasik, namun selalu menyakitkan, dari seorang pengusaha wanita yang sangat berbakat. Sebut saja dia "Sang Katalis." Ia datang dengan skill luar biasa dalam mengembangkan 'Produk A'---ia tahu formulanya, ia tahu pasarnya, ia tahu betul seluk-beluk produk ini dari A sampai Z.
Mimpi Sang Katalis terwujud ketika ia bertemu Mr. X, seorang yang bersedia menjadi investor.
"Saya akan develop produknya, Anda yang biayai dan marketing," begitu kira-kira kesepakatannya di awal.
Semua berjalan penuh harapan. Sang Katalis menghabiskan waktu lebih dari enam bulan untuk mengembangkan Produk A. Akhirnya, produk itu siap dilempar ke pasar, dan penjualan pun dimulai. Namun, di sinilah drama sesungguhnya dimulai.
Jebakan Ekspektasi dan Ego yang Terabaikan
Sejak awal, Sang Katalis sudah mengingatkan Mr. X tentang dua hal fundamental dalam bisnis produk:
- Strategi Pemasaran: "Pak, marketing itu seperti tetesan air memecah batu; konsisten, perlahan, bukan langsung jor-joran di awal. Kita bisa bakar duit sia-sia."
- Jangka Waktu Realistis: "Dua tahun pertama itu adalah periode struggle dan balik modal, bukan cari untung. Bisnis sejenis butuh 7-8 tahun untuk sebesar sekarang."
Namun, seperti yang sering terjadi, Mr. X mengabaikannya. Ia ingin cepat. Ia mungkin berpikir, "dengan uang, saya bisa mengakselerasi proses alam."
Ini adalah tanda bahaya klasik. Seorang investor yang mengabaikan nasihat dari pakar produknya sendiri menunjukkan ego yang tinggi atau ketidakpahaman fundamental tentang waktu yang dibutuhkan untuk membangun nilai. Strategi high-burn di awal tanpa working capital yang cukup selalu menjadi resep bencana.
Bom Waktu: Melawan Ketidakjelasan Administratif
Intuisi Sang Katalis berteriak dari awal. Ia meminta tiga hal yang harusnya wajib ada:
- Kesepakatan Tertulis yang jelas.
- Pendirian PT bersama agar pembagian saham dan tanggung jawab jelas.
- Perapihan Akuntansi dan Pajak agar bisnis bisa scale-up tanpa masalah hukum.