Menguji Kebebasan Media: Drama Kartu Pers di Istana Negara
Kasus pencabutan kartu pers seorang jurnalis CNN Indonesia usai mengajukan pertanyaan kritis kepada Presiden mengenai kasus keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada September 2025 menjadi sorotan tajam. Insiden ini, terlepas dari alasan teknis yang mungkin diklaim oleh pihak Istana, memicu perdebatan serius tentang transparansi dan kebebasan pers di jantung pemerintahan.
Peraturan Masuk Istana Negara: Ketat dan Selektif
Untuk dapat meliput di Istana Negara, seorang jurnalis harus memiliki Kartu Tanda Pengenal Pers (KTP Pers) Istana yang dikeluarkan oleh Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden.
- Peraturan Umum: Syarat utama adalah terdaftar sebagai wartawan aktif dari media yang terverifikasi.
- Mekanisme Pencabutan: KTP Pers Istana dapat dicabut jika jurnalis atau medianya dianggap melanggar etika, prosedur liputan, atau aturan yang ditetapkan Istana. Dalam kasus ini, pencabutan kartu jurnalis CNN diduga terkait dengan prosedur saat mengajukan pertanyaan.
Syarat "Pertanyaan yang Diizinkan" saat Jumpa Pers
Dalam konteks formalitas Istana, tidak ada daftar tertulis mengenai "pertanyaan terlarang" bagi Presiden. Namun, secara praktik, ada beberapa prosedur dan norma tak tertulis yang kerap menjadi batu sandungan:
- Prinsip Umum: Pertanyaan harus relevan dengan topik yang sedang dibahas atau isu nasional terkini, dan disampaikan secara terhormat.
- Prosedur Istana: Jurnalis biasanya diminta mengajukan pertanyaan setelah dipersilakan oleh moderator atau juru bicara. Pertanyaan yang dianggap diluar konteks, terlalu tajam/menyerang (bukan kritis), atau melanggar tata krama bisa saja dianggap melanggar prosedur.
Masalahnya, pertanyaan mengenai ribuan siswa yang keracunan MBG adalah isu publik yang krusial dan mendesak. Dalam perspektif pers yang ideal, pertanyaan tersebut adalah kewajiban jurnalis untuk diajukan dan hak publik untuk dijawab.
Analisis Kritis dan Solusi Kebijakan
Dari sudut pandang pengamat politik dan kebijakan, insiden ini menunjukkan adanya benturan antara kultur birokrasi Istana yang mengutamakan kontrol dan kewenangan pers yang mengutamakan kontrol publik.
Aspek Masalah