Episode 10: Darah, Takdir, dan Kenangan yang Kembali
Sepuluh menit yang terasa seperti selamanya, akhirnya Fika melihat pintu ruang gawat darurat terbuka. Bukan dokter atau suster yang keluar, melainkan ibu Fika, diantar oleh seorang pria. Fika tidak langsung menyadarinya sampai pria itu menyapa.
"Fika." Suara bariton itu familier. Fika menoleh dan terkejut. Rafi. Ia sudah berdiri di sebelahnya. Bagaimana Rafi bisa berada di sini? Mengapa dia ada di sini? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikiran Fika, membuatnya hanya bisa terdiam.
"Saya mengantar ibu Anda. Tadi saya yang menelepon ambulans," jelas Rafi, seolah membaca kebingungan di wajah Fika.
"Oh... terima kasih," jawab Fika lirih. Ia masih berdiri, melipat tangan di dada. Tubuhnya terasa lemas, tapi ia memaksa diri untuk tetap kuat. Demi Tisya.
Ibunya menyodorkan sebotol air mineral. "Minum dulu, Nak," kata ibunya dengan isyarat. Fika menerima botol itu. "Makasih, Bu," ucapnya, lalu menyesap air perlahan.
Tiba-tiba, seorang suster keluar dari ruang tindakan, wajahnya berkeringat. "Ada keluarga pasien Tisya?" tanyanya tergesa-gesa.
"Saya ibunya. Bagaimana, Suster?" Fika langsung berdiri tegak.
"Saat ini Tisya perlu donor darah. Apakah ibu golongan darah O?"