Alkisah, di sebuah belahan dunia, terhamparlah sebuah negeri bernama Nusantara. Bukan negeri biasa, melainkan hamparan seribu pulau lebih, dari yang besar menjulang gunung berapi megah, hingga pulau-pulau kecil yang bersembunyi di balik riaknya ombak. Negeri ini diberkahi dengan tanah yang subur, lautan biru yang kaya, dan hutan-hutan hijau yang menyimpan berjuta rahasia alam.
Penghuni Nusantara adalah bangsa yang unik, yang menyebut diri mereka "Anak-anak Pelangi". Mengapa? Karena mereka datang dari berbagai suku, bahasa, adat istiadat, dan kepercayaan yang berbeda-beda. Setiap anak pelangi punya warna sendiri, melodi khas sendiri, dan tarian warisan leluhur yang tak terhingga jumlahnya. Mereka belajar hidup berdampingan, dalam sebuah harmoni yang kadang kala bergemuruh, namun selalu kembali menemukan iramanya.
Di tengah keindahan itu, Nusantara tak luput dari tantangan. Seiring berjalannya waktu dan ambisi untuk tumbuh, beberapa hutan-hutan megah mulai kelelahan, tak sehijau dulu. Sungai-sungai yang dulunya jernih seringkali berubah keruh, membawa beban dari hiruk pikuk kehidupan. Dan di beberapa sudut, jalanan-jalanan impian yang menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lain masih berliku dan belum sepenuhnya mulus, seringkali butuh waktu dan upaya ekstra untuk mencapainya.
Ada pula "angin perubahan" yang bertiup kencang dari negeri-negeri nun jauh di sana, membawa serta "benih-benih baru" bernama teknologi dan informasi. Benih ini tumbuh sangat cepat, membuat sebagian anak pelangi merasa kegirangan karena bisa terhubung dengan seluruh dunia dalam sekejap mata. Namun, bagi sebagian lainnya, benih ini kadang terasa asing dan membuat mereka merasa tertinggal, terutama mereka yang tinggal di pelosok-pelosok terpencil.
Meski demikian, semangat gotong royong dan senyum persaudaraan adalah mantra yang tak pernah hilang dari jiwa Anak-anak Pelangi. Ketika satu sudut negeri dilanda "musim hujan yang terlalu deras" hingga air naik, tangan-tangan lain segera terulur. Mereka saling membantu membersihkan "tanah yang kotor", menopang "pohon-pohon yang rebah", dan membangun kembali "rumah-rumah harapan".
Para pemimpin di Negeri Nusantara, yang diibaratkan sebagai "Nahkoda Agung" kapal besar ini, terus berlayar. Mereka sibuk merumuskan peta-peta baru, mencari arah angin yang tepat, dan mencoba menambal setiap lubang di lambung kapal. Tidak selalu mudah. Ada saja "ombak besar" dari berbagai arah, kadang "petir" dari langit tak terduga, dan kadang "perbedaan pendapat" antar sesama awak kapal tentang arah mana yang harus dituju.
Namun, yang paling menonjol adalah energi tak kenal lelah dari sebagian besar Anak-anak Pelangi itu sendiri. Mereka terus bekerja. Para petani setia merawat tanah agar tetap subur. Para nelayan tak henti melaut mencari nafkah. Para pedagang kecil gigih menyambung hidup. Dan para pemuda-pemudi dengan "api di matanya" terus belajar dan berinovasi, menciptakan "alat-alat baru" dan "cara-cara baru" untuk mengatasi tantangan yang ada.
Mereka tahu, perjalanan ini panjang. Negeri Seribu Pulau ini adalah anugerah sekaligus amanah. Mungkin tidak semua masalah bisa diselesaikan dalam satu kedipan mata, atau dalam satu musim berganti. Namun, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala suka dan dukanya, Anak-anak Pelangi terus berjalan maju. Mereka memegang teguh keyakinan bahwa di bawah langit yang berubah sekalipun, taman pelangi mereka akan terus ada, asalkan mereka tetap bersatu, saling menjaga, dan tak pernah berhenti berharap pada matahari yang selalu terbit esok hari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI