Topik cerita "Gaji Pertama" selalu menarik karena menyentuh momen personal yang universal---emosi, perjuangan, dan harapan yang muncul ketika seseorang akhirnya menerima hasil jerih payahnya.
Semua orang pasti ingat gaji pertamanya. Bukan soal nominalnya, tapi soal rasa. Rasa bangga, haru, dan kadang... bingung, "Mau dipakai buat apa, ya?"
Saya menerima gaji pertama saya pada tahun 2012, di sebuah startup media digital yang waktu itu belum besar namanya. Gajinya? Rp3.000.000. Jumlah yang saat itu terasa seperti angka miliaran bagi saya yang baru lulus kuliah dan terbiasa hidup pas-pasan.
Hari itu, saya ingat betul, saya diam-diam menangis waktu saldo masuk ke rekening. Bukan karena jumlahnya, tapi karena itu adalah hasil dari begadang, lembur, dan menahan malu saat belajar jadi "orang kantor" yang belum paham apa-apa. Ada rasa puas karena bisa membuktikan bahwa saya bisa berdiri di kaki sendiri.
Gaji pertama itu saya bagi tiga:
Orangtua -- meski mereka tak meminta, saya belikan mereka makan malam di warung kesukaan.
Transport dan kebutuhan kerja -- saya beli sepatu kantor yang sedikit lebih layak.
Diri sendiri -- sisanya saya simpan, entah untuk apa, yang penting menabung.
Zaman sekarang, cerita gaji pertama bisa sangat berbeda. Banyak anak muda mendapatkan gaji pertama dari kerja remote, menjadi content creator, freelance desain, atau bahkan jualan online. Platform seperti TikTok, Instagram, dan Upwork jadi "kantor pertama" mereka. Tak lagi wajib pakai sepatu pantofel atau harus menunggu akhir bulan, kadang tiap proyek bisa langsung cair.
Namun, satu hal yang tidak berubah: perasaan yang muncul tetap sama. Bangga, haru, dan kadang overthinking---mau ditabung atau self-reward dulu?