Mohon tunggu...
Trifosa Fedora Zandra Phelia
Trifosa Fedora Zandra Phelia Mohon Tunggu... Universitas Ahmad Dahlan

Saya mahasiswi Universitas Ahmad Dahlan, tepatnya prodi pendidikan guru pendidikan anak usia dini. Saya suka membaca novel, menonton drama, dan menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah untuk Semua, Benarkah?

31 Juli 2025   15:36 Diperbarui: 31 Juli 2025   15:36 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Trifosa Fedora Zandra Phelia & Iyan Sofyan

(Mahasiswa dan Dosen PGPAUD UAD)

Seiring bertambahnya waktu, perhatian masyarakat atas hak asasi manusia pada penyandang disabilitas semakin meningkat, memicu pemberian pelayanan berupa model pendidikan inklusi, pengaplikasian pendidikan inklusi tersebut menekankan bahwa seluruh siswa dapat diterima tanpa adanya diskriminasi, sehingga menciptakan bentuk pelayanan kesetaraan pendidikan. Pendidikan inklusi dikhususnya bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang merujuk pada anak-anak yang memiliki keterbatasan atau gangguan, baik dari fisik, intelektual, sosial, perilaku, maupun emosional, dari segi pendidikan pada ABK tentunya berbeda dengan anak yang normal, ABK cenderung ditempatkan pada sekolah khusus atau Sekolah Luar Biasa (SLB). Menurut data yang didapat, diketahui sebanyak 40.164 sekolah di Indonesia yang tercatat memiliki siswa disabilitas (kompas.com, 2024). 

Berdasarkan data tersebut maka dapat diartikan bahwa ABK tidak hanya di sekolah khusus saja, namun terdapat juga di sekolah reguler, hal ini selain berdampak pada siswa ABK yang akan sering mengalami diskriminasi dan kurangnya perhatian, juga memicu permasalahan yang dapat berdampak pada implementasi pendidikan inklusif, dikarenakan ketidaksiapan sekolah reguler dalam menerima ABK (Madyaning dan Herawati, 2024). Ketidaksiapan tersebut dibuktikan dengan minimnya sekolah yang memiliki Guru Pendamping Khusus (GPK) bagi ABK, di Indonesia hanya tercatat sebanyak 5.956 sekolah, ini menunjukkan bahwa banyak sekolah masih belum memiliki pelatihan memadai untuk menangani ABK di kelas heterogen (kompas.com, 2024). Contoh nyata dari ketidaksiapan tersebut sering terjadi disalah satu Kota Pendidikan di Jawa Timur tepatnya di Kota Malang, banyak dari ABK tidak mendapatkan pendidikan semestinya dengan alasan minimnya sekolah yang bersedia membuka kelas inklusi dikarenakan tingginya biaya operasional (kompas.com, 2025).

Mengacu kepada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak menerima pendidikan terlepas dari apapun keragaman yang ada pada diri individu. Kebijakan tersebut juga berlaku pada warga negara dengan kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan sosial. Namun realitanya kini masih terdapat ketidaksetaraan pendidikan pada ABK, bahkan mayoritas sekolah menolak siswa berkebutuhan khusus dikarenakan beberapa hal diantaranya: (1) biaya pendidikan yang mahal sehingga perlunya pendanaan yang mendukung, (2) pelayanan pendidikan yang rendah sehingga dibutuhkannya GPK yang kompeten, (3) tidak adanya mekanisme komplain sehingga sulitnya orang tua ABK dalam menyampaikan keinginannya sehingga perlu diadakannya sarana komunikasi yang efektif untuk menyalurkan komplain, dan (4) partisipasi masyarakat yang tidak jalan sehingga perlunya adanya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Jika diamati lebih lanjut, beberapa hal tersebut dapat membuat anak berkebutuhan khusus merasa rendah diri, dan tidak jarang ditemui beberapa dari ABK yang membatasi diri untuk bermain dan belajar dengan teman sebayanya, dikarenakan adanya rasa tidak percaya diri sehingga memilih untuk menjauhkan diri dari lingkungan sekitar. Padahal sebagian besar dari ABK berkeinginan untuk menjalani kehidupan seperti anak yang normal.

Solusi pertama yang diusulkan adalah perlunya pendanaan yang mendukung, dimana pembiayaan pendidikan inklusif di Indonesia memang sering kali terhambat oleh keterbatasan dana yang dialokasikan oleh pemerintah, serta terbatasnya infrastruktur yang ramah untuk disabilitas di sekolah-sekolah, hal ini disebabkan oleh pembiayaan yang cenderung mahal dan kompleks dengan harus mempertimbangkan ragam kebutuhan individu siswa yang berbeda-beda, baik secara fisik, kognitif, maupun emosional. Mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 tahun 2009 yang mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif menyatakan bahwa semua peserta didik, termasuk yang memiliki kelainan atau potensi khusus, memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Dengan begitu, perlu adanya skema pembiayaan yang dirancang secara efektif dan efisien sehingga dapat mendukung keberlanjutan operasional dan diharapkan setiap anak mendapatkan akses yang setara terhadap layanan pendidikan berkualitas tanpa diskriminasi (Safitri & Adiyono, 2023). Solusi kedua yaitu dibutuhkannya tenaga pendidik atau GPK yang kompeten, di Indonesia jumlah guru yang terlatih dan memiliki pemahaman tentang pendidikan inklusif masih sangat terbatas, banyak guru yang belum mendapatkan pelatihan yang memadai untuk menangani siswa berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, pelatihan dan pengembangan profesional bagi guru sangat penting untuk meningkatkan kualitas pengajaran bagi siswa dengan disabilitas.

Solusi ketiga dengan diadakannya sarana komunikasi yang efektif bagi orang tua yang memiliki anak penyandang disabilitas, hal ini bertujuan untuk memberikan kemudahan akses kepada orang tua dalam menyampaikan keluh kesahnya. Sehingga diharapkan dapat membantu dalam mencari solusi terbaik dari permasalahan yang orang tua ABK miliki. Solusi keempat mengusulkan adanya sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Hal ini dikarenakan keberhasilan pendidikan inklusif, tidak hanya bergantung pada pemerintah, guru, maupun orang tua saja, tetapi juga pada kesadaran masyarakat. Dukungan masyarakat luas sangat penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan mendukung siswa berkebutuhan khusus.

Pendidikan inklusif di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan seperti tingginya biaya operasional, terbatasnya jumlah tenaga pendidik yang berkompeten, tidak adanya sarana komplain untuk orang tua ABK, dan kurangnya kesadaran masyarakat. Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan dukungan pemerintah dalam pendanaan yang efektif dan berkelanjutan, pelatihan intensif bagi GPK agar mampu memberikan layanan pendidikan yang sesuai, menyediakan sarana komplain yang efektif bagi orang tua ABK, dan peningkatan pemahaman masyarakat melalui sosialisasi dan edukasi agar tercipta lingkungan belajar yang ramah dan inklusif bagi ABK, karena sudah saatnya tiap individu memiliki kesadaran akan tanggung jawab dalam menciptakan sistem pendidikan yang adil tanpa diskriminasi, dengan memberikan ruang dan kesempatan yang setara bagi setiap anak untuk tumbuh, belajar, dan berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun