Mohon tunggu...
Tri Efendi
Tri Efendi Mohon Tunggu... Dosen - STKIP BIM SURABAYA

Menonton TV-series

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Apapun Kurikulumnya, Grammar Translation Method Cara Mengajarnya

3 Mei 2024   16:41 Diperbarui: 3 Mei 2024   16:57 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa Inggris adalah satu diantara keterampilan yang dianggap sebagai "paspor" untuk masa depan yang lebih baik. Klaim ini bukan tanpa alasan: Bahasa Inggris adalah satu diantara bahasa internasional, yang berarti seseorang yang mampu menggunakan bahasa Inggris mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam komunitas global. 

Oleh karena itu, banyak sekolah berbondong bondong menjadikan Bahasa Inggris sebagai 'jualan' mereka. Bahasa Inggris sendiri di Indonesia diajarkan dari sekolah dasar sampai universitas di Indonesia dengan harapan bahwa siswa dapat menggunakan bahasa Inggris sebagai jembatan untuk beradaptasi dengan isu-isu global dan tidak gagap dengan perkembangan dunia. Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak siswa Indonesia masih kesulitan menggunakan bahasa Inggris, baik lisan maupun tertulis.

Berdasarkan English Proficiency Index (EPI) yang dilakukan oleh EF, Indonesia mendapatkan nilai rendah dengan menempati urutan ke-79 dari 113 negara pada tahun 2023. Di Asia sendiri, Indonesia ada di posisi ke 13 dari 23 negara. Angka tersebut cenderung turun dari tahun ke tahun mulai dari tahun. Berdasarkan wilayah, Jawa menempati nilai tertinggi dengan perolehan nilai 498 di susul oleh Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, Papua, Kalimantan dan Maluku. Kota kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Malang, dan Semarang memperoleh nilai tertinggi dibandingkan dengan kota kota lainnya.

Pemerintah dalam hal ini selalu berusaha mencari cara untuk memastikan pengajaran dan pembelajaran bahasa Inggris berjalan secara efektif agar mendapatkan hasil yang maksimal pula, salah satunya adalah dengan menggunakan Genre-Based Approach (GBA) atau Pendekatan Berbasis teks serta mendorong guru guru untuk menggunakann Communicative language Teaching (CLT) melalui Kurikulum Merdeka. 

Berbicara tentang KurMed atau Kurikulum Merdeka, telah banyak sekolah yang menerapkan kurikulum ini selama kurang lebih tiga tahun. Pada dasarnya, ada tiga karakteristik dari kurikulum Merdeka yang ingin ditekankan oleh pemerintah: mengembangkan soft skill dan karakter, fokus pada hal-hal penting, dan fleksibilitas dalam belajar. 


Menurut Anwar (2022) Kurikulum ini di kembangkan dengan pembelajaran intra-kurikuler yang beragam di mana pelajaran esensial akan lebih optimal dengan harapan bahwa siswa memiliki cukup waktu untuk mengeksplorasi konsep dan memperkuat kompetensi. Kurikulum ini  berfokus pada minat siswa dan memberi mereka waktu untuk bereksplorasi, tidak terburu-buru menyelesaikan bahan ajar tanpa memastikan siswa telah mengerti dan memahaminya dengan baik. Sayangnya, itu hanya pada tingkat teoritis; hal tersebut belum sepenuhnya diterapkan dengan baik. Masih banyak siswa tingkat menegah yang "gagap" menggunakan bahasa Inggris. 

Pertama, salah satu faktor yang menghambat tercapainya tujuan pembelajaran Bahasa inggris dalam membantu siswa untuk dapat berkomunikasi adalah karena pengimplemntasian Kurikulum, apapun kurikulumnya, masih dengan cara lama. Sejatinya sejak tahun 1984, pemerintah sudah memeberikan berupaya untuk mengembangkan bahasa berbasis komunikatif melalui  Structure-based communicative curriculum. Namun, seindah apapun Kurikulum dirancang jika di kelas, guru masih enggan mengubah cara mereka mengajar dari pengajaran tradisional yang berpusat pada siswa. Oleh karena itu, akan sulit rasanya mengharapkan hasil yang berbeda.  

Tentu saja, tidak semua guru seperti itu, tetapi banyak dari mereka masih mengajar Bahasa inggris dengan cara lama: buka buku, menjelaskan, memberi tugas di LKS serta lebih banyak berbahasa Indonesia daripada Bahasa Inggris. Akibatnya, bahasa Inggris berakhir hanya sebatas pengetahuan, bukan sebagai alat komunikasi. Banyak terjadi di kelas kelas kita, guru sering melakukan apa yang disebut teacher-centered, yang artinya guru mendominasi kelas dan kurang memberikan ruang kepada siswa untuk bereksplorasi dan praktik menggunakan Bahasa Inggris.

Selain itu, banyak guru masih fokus pada pengajaran tata bahasa dan struktur bahasa. Biasanya pola yang terbentuk adalah guru menjelaskan rumus, memberi contoh dan kemudian meminta siswa untuk menulis kalimat berdasarkan rumus. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan mengajar tata Bahasa, karena tata bahasa sendiri adalah backbone of the language atau tulang punggung Bahasa yang membuatnya menjadi jelas dan bermakna. 

Namun sayangnya, ketika tujuan kita adalah membantu siswa untuk bisa menggunakan Bahasa Inggris, seharusnya grammar diajarkan sebagai tata bahasa fungsional, guru harus menggunakannya sebagai alat komunikasi. Jadi, tidak berhenti sebatas pengetahuan saja atau kumpulan rumus rumus yang harus diingat, tetapi sesuatu yang bisa dipraktikan.

Faktor lain yang menjadikan pengajaran Bahasa Inggris tidak efektif adalah penggunaan bahasa ibu yang berlebihan. Hal tersebut, tampaknya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan siswa tidak mendapatkan banyak exposure atau paparan Bahasa Inggris. Di kelas Bahasa Inggris kita, guru sering menggunakan bahasa Indonesia atau daerah untuk mengajar bahasa Inggris, yang berefek pada hilangnya kesempatan siswa untuk mendapatkan exposure atau paparan. 

Exposure berperan penting dalam pengembangan bahasa. Siswa yang mendapatkan lebih banyak paparan bahasa Inggris akan mendapatkan input lebih banyak. Listening dan reading merupakan receptive skills yang bertujuan sebagai input atau masukan dalam perkembangan Bahasa seseorang. Productive skills yakni kemapuan berbicara dan menulis dapat berkembang ketika seseorang mendapatkan input yang cukup. Selayaknya bayi, dalam perkembangannya, seorang bayi dapat berbicara karena ia mendengarkan orang tua dan sekelilingnya memberikan paparan. 

Selain itu, meskipun kurikulum Merdeka ini dirancang untuk memberi para guru fleksibilitas dan kesempatan untuk menyesuaikan situasi dan kondisi kelas mereka melalui berbagai alat dan teknik pengajaran. Ternyata masih banyak guru yang masih menggunakan teknik pengajaran yang old school seperti Grammar Translation Method, karakteristiknya seperti adalah penggunaan bahasa ibu di kelas, berbasis terjemahan, penggunaan karya sastra seperti novel, puisi, dan cerita, serta guru yang mendominasi kelas.

Ini berbeda dari apa yang dimandatkan oleh Kurikulum Merdeka yakni penggunaan metode pembelajaran yang komunikatif seperti Communicative Language Teaching (CLT), yang mana guru harus menjadi fasilitator, dan pengajaran harus difokuskan pada penggunaan bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi, tidak berhenti hanya sebatas ilmu pengetahuan. Yang tentu saja, praktik semacam ini tidak relevan dengan semangat kurikulum Merdeka dan pengajaran abad ke-21.

Rendahnya kemampuan berbahasa Inggris di Indonesia sebaiknya menjadi bahan renungan kita sebagai guru Bahasa Inggris dalam mengajar walaupun banyak hal yang menjadi faktor penghambat tidak hanya dari sisi guru. Dan, kemauan seorang guru untuk terus belajar sungguh sangat dipertaruhkan, seperti pepatah: teacher who stops learning has to stop teaching, yang artinya guru yang berhenti belajar harus berehenti mengajar.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun