Dia tersenyum lemah.
"Aku percaya janjimu. Sekarang aku bisa pergi dengan senang dan tenang. Semoga engkau selalu terberkati, kawanku ...!"
Perlahan-lahan Kolonel Sovov menutup matanya. Dia meninggalkan dunia dengan tenang. Tidak ada tanda-tanda regangan tubuh.
Sekarang, tepat setahun kemudian. Kunyalakan lilin di depan foto yang selama ini kusimpan dengan sangat rahasia jauh melebihi kerahasiaan dukomenku yang paling penting.
Laboratoriumku lengang. Cuma dengungan halus AC yang terdengar. Kutatap wajah Kolonel Sovov yang terbaring tenang. Foto ini kuambil sesaat setelah dia mati. Tubuhnya kuawetkan dengan formalin dan sampai seminggu yang lalu keperiksa masih utuh. Cuma ada sedikit keanehan dengan keadaan mayatnya.
Kurasakan mayat itu semakin hari semakin menyusut tetapi ketika diukur, tidak ditemukan perbedaan yang berarti. Apakah ini cuma sekedar perubahan perasaan belaka?
Kutatap wajahnya lagi. Sebersit keinginan tiba-tiba melintas di benakku. Mengapa tidak kutengok jasadnya sekarang ini tepat setelah setahun kematiannya? Aku tersenyum sendiri dan melangkah ke ruang sebelah. Ruang itu mulanya ruang perpustakaan pribadi tetapi sejak kematian Kolonel Sovov ruangan itu fungsinya kuganti. Semua buku pribadi, kupindah ke rumah induk. Ruangan itu cuma khusus digunakan sebagai ruangan penyimpanan tabung baja anti karat, tempat jasad Kolonel Sovov terbaring tenang.
Di bawah sinar lampu neon enam puluh watt, tabung baja putih itu berkilat. Di dalam tabung inilah tersimpan sesosok tubuh yang bukan berasal dari planet Bumi. Aku melangkah mendekat.
"Akan kutatap wajahmu tepat di hari ulang tahun kematianmu ini, sahabatku!" desisku pelan entah ditujukan pada siapa.
Sebuah tombol kecil di ujung tabung kutekan. Perlahan-lahan tabung terbuka. Aku masih ingat, bagaimana aku tersenyum tawar waktu itu tetapi ketika tabung semakin membuka, senyumku menghilang. Bagaimana tidak? Di larutan fomalin yang bening itu tidak kulihat apa-apa. Cuma keheningan dan kebeningan. Tidak ada jasad. Tidak ada apa-apa.
Tanpa sadar kakiku melangkah mendekat. Otakku buntu. Aku tidak mampu bereaksi, apalagi berpikir. Kupegang pinggiran tabung putih yang dingin itu. Sekarang aku baru sadar kalau tanganku gemetar.