Mohon tunggu...
Pendidikan

Riba dalam Pandangan Ekonomi Islam

2 Maret 2019   11:37 Diperbarui: 2 Maret 2019   12:20 2166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kata riba berasal dari bahasa Arab, yang secara etimologi berarti (tambahan) atau al-nama (tumbuh). Pertambahan disini bisa disebabkan oleh faktor intern atau ekstern. Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Menurut jumhur ulama, prinsip utama dalam riba adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.

Larangan riba sebagaimana yang termuat dalam Al-Qur'an telah didahului oleh bentuk-bentuk larangan lainnya yang secra moral tidak dapat ditoleransi. Larangan ini tercermin dalam perilaku sosial ekonomi masyarakat Mekkah pada saat itu, yang secara luas dapat menimbulkan dampak kerugian pada komunitasnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur'an surah al-Mudatstsir (74) ayat 34-44 yaitu:

"Mereka menjawab: "Kami tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan sholat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin."

Maksud dari ayat tersebut adalah umat islam diwajibkan menafkahkan sebagian dari harta kita untuk fakir miskin melalui zakat. Meskipun perintah pelaksanaannya bersifat wajib, namun umat islam diminta ikhlas dan sukarela mengeluarkan zakat untuk ikut campur tangan dan peduli dalam mengurangi penderitaan kelompok tertentu. 

Menafkahkan sebagian dari harta dapat dilakukan dengan bentuk pemberian sedekah. Jika bentuk tersebut terasa berat, maka dapat dilakukan melalui pinjaman dengan tidak memungut atau meminta kelebihan dari nilai pokok yang telah dipinjamkan. 

Apabila pinjaman sudah masuk jatuh tempo mengembalikan pihak peminjam tidak boleh meminta tambahan dan juga sebaliknya pihak yang meminjam harus memberkan kepastian waktu, jika ia memang mampu untuk mengembalikannya.

Jika pemberian utang disertai dengan tambahan pengembalian, maka dilarang termasuk kategori riba. Dalam Al-Qur'an, larangan riba diturunkan melalui empat tahapan. Pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada lahirnya seolah-olah menolongbmereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekatkan diri kepada Allah. Allah berfirman dalam surah ar-Rum (30) ayat 39:

"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)."

Ayat tersebut menjelaskan tentang riab yang tidak memberikan tambahan pada harta berbeda dengan zakat yang akan memberikan tambahan kepada harta. Islam tidak hanya diam saja dengan keberadaan riba yang semakin meluas yng tidak sesuai dengan fitarh manusia itu sendiri.

Kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam akan memberikan balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Sebagaimana firman-Nya dalam surah an-Nisa ayat 160-161:

"Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas merka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi( manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba', padahal sesungguhnya mereka telah dilaramng daripadanya dan karena mereka memakan harta orang-orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun