Sempit jalan berdesak bangunan Memandang sinis mendakwa bengis Perempuan satu dan hitamnya waktu
Dihapusnya gincu dengan ujung baju Dibuangnya dengus birahi sejuta tamu
Hari pagi menyambut kau kembali Mengusap nadi mengelus hati Sesal di hatimu kian mengganggu
Kau reguk habis semua doa doa Dari surau depan rumah yang kau sewa Tak terasa surya duduk di kepala Azan subuh masih di telinga
Terdengar renyah tawa gadis sekolah Menyibak tabir cerita lama Didepan retaknya cermin yang telah usang Menari dia seperti dahulu
Terdengar pelan ketuk pintu Tegur anakmu buyarkan lamunan Perempuan satu kian terbelenggu
Dihapusnya gincu dengan ujung baju Dibuangnya dengus birahi sejuta tamu
Mereka yang disebut pelacur juga manusia, yang butuh diterima, butuh dikasihi dan mengasihi, dan butuh Tuhan. Siapa yang dapat menaruh rasa kasih dan kebutuhan akan Tuhan kalau bukan Tuhan sendiri? Kalau rasa kasih dan iman itu ada di hatinya, bukankah berarti Tuhan sendiri sudah lebih dulu hadir di sana, bersama dengan dendang subuh yang berkenan mampir di hatinya?
Rumah sewaan di gang sempit dan petak-petak tempat tinggal yang saling berhempit, ditambah cermin usang yang sudah retak menggambarkan situasi sosial ekonomi si perempuan satu: ia hidup sebagai orang tidak punya. Gambaran ini melesakkan satu pemikiran dalam budi kita: bahwa mereka ini telah disudutkan oleh desakan kebutuhan ekonomi, demi perut terisi dan biaya pendidikan anak yang dicintai dan sulit menemukan alternatif lainnya selain menjalani profesi yang dicap maksiat ini. Ada semacam lingkaran setan: miskin jadi tidak bisa sekolah, tidak bisa sekolah jadi bodoh, bodoh jadi tidak bisa mendapat kerja, tidak bisa mendapat kerja jadi miskin, dan begitu seterusnya. Maka, upaya memutus lingkaran setan kebodohan dan kemiskinan (plus kurangnya gizi) ini jelas lebih berguna daripada mengutuki mereka sebagai pendosa.
Ville-Lumière, 19 Februari 2012