Mohon tunggu...
Severus Trianto
Severus Trianto Mohon Tunggu... Dosen - Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

mengembalikan kata pada dunia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Religiositas Seorang Pelacur dalam Lagu "Azan Subuh Masih di Telinga"

19 Februari 2012   16:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:27 2332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13296704421943881870

Sempit jalan berdesak bangunan Memandang sinis mendakwa bengis Perempuan satu dan hitamnya waktu

Dihapusnya gincu dengan ujung baju Dibuangnya dengus birahi sejuta tamu

Hari pagi menyambut kau kembali Mengusap nadi mengelus hati Sesal di hatimu kian mengganggu

Kau reguk habis semua doa doa Dari surau depan rumah yang kau sewa Tak terasa surya duduk di kepala Azan subuh masih di telinga

Terdengar renyah tawa gadis sekolah Menyibak tabir cerita lama Didepan retaknya cermin yang telah usang Menari dia seperti dahulu

Terdengar pelan ketuk pintu Tegur anakmu buyarkan lamunan Perempuan satu kian terbelenggu

Dihapusnya gincu dengan ujung baju Dibuangnya dengus birahi sejuta tamu

Mereka yang disebut pelacur juga manusia, yang butuh diterima, butuh dikasihi dan mengasihi, dan butuh Tuhan. Siapa yang dapat menaruh rasa kasih dan kebutuhan akan Tuhan kalau bukan Tuhan sendiri? Kalau rasa kasih dan iman itu ada di hatinya, bukankah berarti Tuhan sendiri sudah lebih dulu hadir di sana, bersama dengan dendang subuh yang berkenan mampir di hatinya?

Rumah sewaan di gang sempit dan petak-petak tempat tinggal yang saling berhempit, ditambah cermin usang yang sudah retak menggambarkan situasi sosial ekonomi si perempuan satu: ia hidup sebagai orang tidak punya. Gambaran ini melesakkan satu pemikiran dalam budi kita: bahwa mereka ini telah disudutkan oleh desakan kebutuhan ekonomi, demi perut terisi dan biaya pendidikan anak yang dicintai dan sulit menemukan alternatif lainnya selain menjalani profesi yang dicap maksiat ini. Ada semacam lingkaran setan: miskin jadi tidak bisa sekolah, tidak bisa sekolah jadi bodoh, bodoh jadi tidak bisa mendapat kerja, tidak bisa mendapat kerja jadi miskin, dan begitu seterusnya. Maka, upaya memutus lingkaran setan kebodohan dan kemiskinan (plus kurangnya gizi) ini jelas lebih berguna daripada mengutuki mereka sebagai pendosa.

Ville-Lumière, 19 Februari 2012

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun