Mohon tunggu...
Trian Ferianto
Trian Ferianto Mohon Tunggu... Auditor - Blogger

Menulis untuk Bahagia. Penikmat buku, kopi, dan kehidupan. Senang hidup nomaden: saat ini sudah tinggal di 7 kota, merapah di 5 negara. Biasanya lari dan bersepeda. Running my blog at pinterim.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Memahami Kerusuhan di Capitol Melalui Film "The Social Dilemma"

8 Januari 2021   14:22 Diperbarui: 9 Januari 2021   09:07 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perusakan papan nama pimpinan Kongres US Nancy Pelos | kredit: The New York Times

Rabu kemarin telah terjadi kekacauan pertama kali sejak 200 tahun terakhir: gedung Kongres Amerika Serikat di Capitol Hill diserbu oleh massa. Jika pada tahun 1817 diserbu oleh tentara Inggris dan dibakar dalam 'Perang 1817', dua abad kemudian US Capitol diserbu dan dirusak oleh rakyatnya sendiri. Pemicunya adalah ketidakterimaan pendukung Donald Trump atas pelantikan Joe Biden, pesaing Trump dalam pilpres 2020.

Kejadian tersebut diawali dengan berkumpulnya massa pendukung Trump di depan US Capitol. Pelan namun pasti, massa kemudian merangsek masuk ke gedung dengan disertai perusakan jendela dan furniture isi gedung. 

Dalam video pendek yang dirilis oleh berbagai kantor berita di US, massa bahkan sampai menduduki ruang kerja pribadi pimpinan Kongres Nancy Pelosi  dan merusak papan nama jabatannya.

Aksi yang tidak mencerminkan negara terdepan demokrasi ini sampai dikecam oleh setidaknya empat mantan Presiden US: Barack Obama, George W. Bush, Bill Clinton, dan Jimmy Carter. Secara jelas, keempat presiden itu melemparkan kesalahan pada juniornya: Donald Trump.

Tuduhan kesalahan ini memang bukan tanpa alasan jika melihat statement-statement Donald Trump mulai dari awal masa kampanye pilpres dan puncaknya adalah saat hasil perhitungan suara pilpres yang memenangkan Joe Biden. 


Setelah itu, pernyataan Donald Trum makin membuat pendukungnya panas dan terprovokasi. Donald Trump bahkan membuat pernyatan disinformasi dan klaim kemenangan sepihak atas hasil pilpres melalui akun twitter dan media sosialnya. 

Ini juga yang menjadikan para pendukung Trump seperti mendapatkan legitimasi untuk menuntut keadilan dan berbuat rusuh di US Capitol.

Twitter sampai harus menggembok akun Donald Trump selama 12 jam. Langkah ini kemudian diikuti juga oleh facebook dan youtube, dua platform besar lain yang digunakan untuk 'mengkipasi' api para pendukung Trump.

Media sosial memang menjadi sarana ampuh untuk menyatakan pendapat dan opini atas apapun yang ada di dunia ini. Kita serasa memiliki media sendiri yang bebas kita gunakan untuk keperluan apapun. 

Hukum seringkali kalah cepat dengan gerak para pengguna social media. Akibatnya, orang merasa makin bebas menggunakannya. Padahal yang tidak kita sadari, kita tidak akan pernah bebas dari algoritma media sosial yang dirancang oleh para programmer di belakangnya.

Kejadian yang tidak masuk akal akan terjadi di US Capitol kemarin bisa dilihat dari peran media sosial yang tegah menjadi trend saat ini. Secara tidak sadar, algoritma sosial media yang awalnya didesain untuk kebaikan bagi para penggunanya, justru malah makin memperuncing polarisasi perbedaan.

Gambaran dari film dokumenter The Social Dilemma yang dirilis pada September 2020 lalu menjelaskan dengan gamblang bagaimana peran Artificial Intelegence dan Machine Learning yang dipasang pada algoritma media sosial menjadikan para pengguna seperti hidup di dunianya sendiri.

Meskipun kita sama-sama menggunakan facebook, twitter, atau instagram misalnya, tampilan linimasa (feed timeline) kita pastilah berbeda. Apa-apa yang muncul pada linimasa kita adalah filter dari aktivitas kita sebelumnya ditambah dengan rekomendasi hasil algoritma yang diinjeksi untuk menentukan konten sejenis yang kita sukai.

Kita pernah di masa itu, ketika polarisasi masyarakat terjadi begitu kuat saat gelaran pilpres.

Kita kembali ke belakang. Bayangkan dulu kita atau kawan-kawan kita begitu menggebunya membela mati-matian calon presiden pilihan masing-masing. Mereka menggunakan beragam argumen yang didapatkan dari lini masa media sosialnya untuk menjustifikasi bahwa pilihannya terbaik dan pilihan liyan adalah buruk. 

Mereka lupa, bahwa semakin kita aktif menggunakan media sosial, echo chamber effect semakin terjadi. Akibatnya, informasi yang disuguhkan di hadapan kita hanyalah informasi yang memang kita inginkan, terlepas apakah informasi tersebut valid kebenarannya atau hanyalah hoaks.

Benar dan hoaks, algoritma media sosial tidak dapat membedakan. Sebagaimana dijelaskan oleh para programmer yang membangun aplikasi-aplikasi tersebut, algoritma yang dipasang hanyalah untuk menangkap aktivitas kita pada setiap konten dan menyuguhkan preferensi sejenis yang berkesuaian dengan minat pengguna. 

Harapannya, mereka akan terus-terusan memakai aplikasi tersebut. Atensi kita inilah yang kemudian 'dijual' di 'pasar lelang iklan' kepada para pengiklan yang sebagian besar tentu para kapitalis.

Algoritma ini tidak memiliki 'norma dan agama' dan bersifat 'netral' sesuai dengan aturan main yang programmer injeksikan. Pada praktiknya, algoritma ini bisa ditunggangi dan digunakan untuk kepentingan apapun hingga sampai membentuk persepsi masyarakat banyak (mob) pada opini tertentu yang diinginkan.

Isu bahwa Rusia menunggangi pilpres US saat Trump terpilih pun sempat mencuat kala 2016. Setelah diselidiki, dugaan kecurangan itu kurang bisa dibuktikan, namun yang disimpulkan para pengamat social media adalah siapapun bisa menggunakan algoritma social media untuk mempengaruhi sekian banyak penduduk untuk memilih A dan atau membenci B.

Sekarang kita semua telah belajar, polarisasi atas suatu pilihan A dan B hasil dari giringan media sosial ternyata hanyalah sia-sia belaka. Pilihan pilpres Indonesia kemarin membuktikan bahwa A dan B tidak benar-benar menjadi oposisi biner. 

Semakin ke sini, mereka bisa akur-akur saja dan mengesampingkan segala wacara ekstrem yang pernah dilontarkan masing-masing kubu. Kini yang dirugikan atas polarisasi kala itu adalah masyarakat dan simpatisan di bawah.

Dalam urusan ini, kita lebih dewasa daripada Amerika dan kita belajar terlebih dahulu.

Sekarang, rakyat amerika yang patut diduga sedang 'dikadalin' oleh narasi media sosial yang digiring oleh -entah siapa- yang mengambil untung dari situasi chaos Amerika seperti saat ini. (TF)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun