Gemuruh takbir berkumandang, aroma opor dan rendang menyeruak, dan tawa riang anak-anak bersahutan. Suasana Lebaran, bagi banyak orang, adalah perwujudan kebahagiaan dan kebersamaan yang paling dinanti. Namun, di balik senyum sopan dan anggukan kepala seorang introvert, seringkali tersembunyi perjuangan batin yang tak terlihat. Riuhnya silaturahmi, padatnya jadwal kunjungan, dan derasnya percakapan bisa menjadi gelombang energi yang menguras habis, meninggalkan mereka dengan perasaan lelah dan ingin segera menyendiri.
Bagi seorang introvert, interaksi sosial dalam skala besar, apalagi yang terjadi secara intens dan beruntun seperti saat Lebaran, bukanlah sumber energi, melainkan justru pengurasnya. Mereka mendapatkan energi dari waktu menyendiri, dari refleksi dan ketenangan. Sementara Lebaran menuntut sebaliknya: kehadiran fisik dan mental yang prima di tengah keramaian, kemampuan untuk terlibat dalam percakapan tanpa henti, dan adaptasi cepat terhadap berbagai karakter dan topik pembicaraan.
Bayangkan seorang introvert yang harus berjabat tangan dengan puluhan bahkan ratusan sanak saudara, meladeni pertanyaan basa-basi yang terkadang terasa mengintimidasi, dan berusaha tetap fokus di tengah hiruk pikuk suara. Setiap interaksi, meskipun singkat, membutuhkan energi mental yang signifikan. Mereka harus secara sadar memproses informasi, merespons dengan tepat, dan menjaga ekspresi wajah agar tetap ramah dan sopan. Ini adalah pekerjaan yang melelahkan, terutama ketika dilakukan dalam waktu yang panjang tanpa jeda untuk "mengisi ulang baterai" internal mereka.
Salah satu tantangan terbesar bagi introvert saat Lebaran adalah ekspektasi sosial yang kuat untuk selalu terlihat bahagia dan bersemangat. Pertanyaan-pertanyaan seperti "Kok lesu?", "Nggak semangat ya?", atau bahkan "Ada masalah?" bisa menjadi pukulan telak bagi mereka yang memang sedang berjuang menahan diri di tengah kelelahan sosial. Mereka mungkin merasa bersalah karena tidak bisa sepenuhnya menikmati suasana seperti orang lain, padahal jauh di lubuk hati, mereka juga ingin merayakan hari kemenangan ini bersama keluarga.
Tak jarang, para introvert ini mengembangkan strategi tersendiri untuk "bertahan hidup" selama Lebaran. Beberapa mungkin mencoba untuk datang lebih awal atau lebih akhir dari jam-jam puncak silaturahmi, untuk menghindari kerumunan terbesar. Ada pula yang mencari "zona aman" di tengah keramaian, seperti membantu di dapur atau bermain dengan anak-anak, yang memungkinkan mereka untuk tetap terlibat namun dengan intensitas interaksi yang lebih terkontrol.
Menyediakan diri dengan "alibi" untuk sesekali menarik diri juga menjadi taktik umum. Alasan seperti "mau ke toilet sebentar", "ada telepon penting", atau "perlu istirahat sejenak" bisa menjadi penyelamat di tengah bombardir sosial. Namun, tak jarang mereka merasa tidak enak atau bersalah karena harus melakukan ini, seolah-olah mereka tidak menghargai kehadiran keluarga.
Penting untuk dipahami bahwa keinginan seorang introvert untuk menyendiri bukanlah tanda ketidakpedulian atau antipati terhadap keluarga. Itu adalah kebutuhan mendasar untuk memulihkan energi dan menenangkan pikiran setelah terpapar stimulasi sosial yang berlebihan. Waktu menyendiri memungkinkan mereka untuk memproses semua interaksi yang telah terjadi, merenungkan makna Lebaran bagi diri mereka sendiri, dan mempersiapkan diri untuk interaksi berikutnya.
Lalu, bagaimana seharusnya keluarga dan lingkungan sekitar menyikapi para introvert saat Lebaran? Kuncinya adalah pemahaman dan empati. Jangan memaksakan mereka untuk terus-menerus terlibat dalam percakapan atau aktivitas yang melelahkan. Berikan mereka ruang dan waktu untuk menyendiri tanpa merasa dihakimi atau diabaikan. Mengakui bahwa setiap orang memiliki kebutuhan sosial yang berbeda adalah langkah awal yang penting.
Mungkin, alangkah baiknya jika tradisi silaturahmi Lebaran bisa sedikit lebih fleksibel dan menghargai preferensi individu. Bukan berarti mengurangi esensi kebersamaan, namun memberikan kesempatan bagi setiap anggota keluarga untuk merayakan dengan cara yang paling nyaman bagi mereka. Sesi obrolan yang lebih kecil dan intim, waktu istirahat yang terjadwal, atau sekadar menghargai kehadiran seseorang tanpa menuntut interaksi verbal yang konstan bisa membuat pengalaman Lebaran menjadi lebih positif bagi semua orang, termasuk para introvert.
Di balik senyum sopan itu, mari kita coba melihat lebih dalam. Ada hati yang juga ingin merayakan, namun dengan cara yang berbeda. Dengan memberikan ruang dan pengertian, kita bisa menciptakan suasana Lebaran yang benar-benar inklusif dan membahagiakan bagi semua, tanpa terkecuali. Karena esensi Lebaran adalah cinta dan kebersamaan, yang seharusnya dirasakan oleh setiap jiwa, terlepas dari preferensi sosial mereka
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI