Pendahuluan
Pernahkah kamu menatap mata monyet di pinggir jalan kota? Ada yang tampak lucu, ada yang bikin kesal, ada pula yang dianggap hama. Padahal, di balik tatapan itu, ada kisah panjang: rantai, jerat, hutan yang hilang, dan manusia yang sering lupa berbagi ruang.
Dua primata yang paling sering kita temui, monyet ekor panjang dan beruk, sebenarnya bukan sekadar hewan liar yang kebetulan lewat. Mereka adalah bagian dari cerita besar ekosistem Nusantara. Mereka membantu menyebarkan biji, menumbuhkan hutan, menjaga keseimbangan alam. Tapi ironisnya, kini mereka justru hidup di persimpangan: antara jadi tontonan, jadi peliharaan, atau jadi korban perdagangan.
Pertanyaannya: sampai kapan kita menganggap monyet hanya sebagai komoditas?
Perdagangan yang Tak Pernah Sepi
Di banyak pasar satwa, monyet ekor panjang masih dijual bebas. Ada yang dibeli sebagai hewan peliharaan, ada yang dikirim untuk laboratorium, ada pula yang mati di jalan karena perjalanan jauh tanpa perawatan. Data 2023 mencatat sekitar 105 ribu individu monyet ekor panjang masih bertahan di kawasan konservasi. Kedengarannya banyak, tapi itu hanya di kawasan lindung. Di luar kawasan? Tidak ada angka pasti. Yang jelas, perburuan dan perdagangan di alam liar tetap marak.
Beberapa survei menunjukkan kantong populasi tertentu masih lumayan besar, seperti hampir 10 ribu individu di pulau kecil Lampung, atau sekitar 600-an ekor di Pulau Tinjil, Banten. Tapi banyak wilayah lain yang dulunya ramai kini sepi. Kita sering terkecoh: melihat monyet berkerumun di satu tempat lalu mengira jumlahnya aman. Padahal, di banyak hutan, mereka menghilang.
Beruk nasibnya tak kalah miris. Di beberapa daerah, mereka diburu untuk dilatih memetik kelapa. Tradisi ini diwariskan turun-temurun, tapi di balik "manfaat" itu ada penderitaan panjang. Bayangkan, sejak kecil hidup dengan rantai di leher, hanya berfungsi sejauh produktif.
Eksploitasi: Dari Tontonan hingga Pekerja Paksa
Kamu mungkin pernah menyaksikan atraksi topeng monyet. Seekor monyet kecil dipakaikan baju mini, dipaksa berjalan dengan rantai, bahkan disuruh merangkak di jalan beraspal panas. Itu bukan hiburan, itu penyiksaan.
Beruk pun diperlakukan tak kalah kejam. Mereka dilatih keras untuk memanjat dan menjatuhkan kelapa. Mereka jarang dilepas, nilai hidupnya ditentukan dari berapa buah yang berhasil dijatuhkan.
Selain penderitaan, ada risiko lain: penyakit. Kontak terlalu dekat dengan primata bisa memicu penularan penyakit baru. Studi terbaru menemukan monyet di lokasi wisata membawa beban penyakit tinggi. Artinya, bercanda atau memberi makan mereka bukan hanya salah, tapi juga berbahaya untuk kesehatan kita.
Konflik Manusia-Monyet: Siapa yang Salah?
Di banyak desa, monyet ekor panjang dianggap pengganggu. Mereka mencuri mangga, merusak kebun, bahkan masuk ke dapur. Tak jarang, mereka diracun atau ditembak.
Tapi mari kita balik tanya: siapa yang lebih dulu merusak batas? Ketika hutan ditebang untuk kebun atau bangunan, monyet kehilangan rumah. Mereka mencari makan di kebun bukan karena nakal, tapi karena lapar.
Beberapa inisiatif di lapangan membuktikan konflik ini bisa dikelola tanpa kekerasan:
- Pagar listrik ramah satwa yang hanya memberi sengatan kecil.
- Tanaman penghalang yang tidak disukai monyet.
- Manajemen sampah agar mereka tidak terbiasa mencari sisa makanan manusia.
- Edukasi koeksistensi, mengajarkan warga cara menghadapi monyet tanpa melukai.
Konflik tidak akan selesai kalau hanya berpusat pada "mengusir". Yang dibutuhkan adalah membangun ulang batas ruang hidup yang selama ini diambil manusia.
Mengapa Kita Harus Peduli?
Banyak orang bilang: "Monyet kan masih banyak." Padahal itu ilusi. Mereka terlihat ramai di satu titik, tapi sebetulnya kosong di banyak hutan.
Jika monyet dan beruk hilang, kita akan merasakannya. Mereka adalah penyebar biji alami. Tanpa mereka, regenerasi hutan melambat. Hutan yang melemah berarti lebih rawan banjir, longsor, dan krisis air. Pada akhirnya, yang rugi bukan hanya satwa, tapi manusia.
Dan lebih dari sekadar ekologi, ini soal moralitas. Bagaimana kita memperlakukan satwa mencerminkan siapa kita sebagai manusia. Apakah kita rela membiarkan rantai di leher primata menjadi hiburan anak-anak kota? Atau kita berani berkata: sudah cukup.
Di Balik Kebijakan: Celah dan Harapan
Saat ini, kebijakan konservasi kita masih bolong-bolong. Monyet ekor panjang bahkan belum sepenuhnya masuk daftar satwa dilindungi di tingkat nasional. Celah ini membuat praktik eksploitasi susah ditindak.
Di sisi lain, data yang kita miliki masih timpang. Angka 105 ribu individu tadi hanya mencakup kawasan konservasi. Kita belum tahu persis berapa yang bertahan di luar kawasan, yang justru paling rentan diburu. Tanpa data menyeluruh, sulit membuat kebijakan yang tepat.
Namun ada harapan. Beberapa lembaga mulai mendorong pemantauan rutin, survei kolaboratif, hingga penggunaan teknologi kamera jebak. Jika dilakukan konsisten, data ini bisa jadi dasar untuk kebijakan yang lebih berani.
Proyeksi Masa Depan: Dari Krisis ke Koeksistensi
Kalau kita terus diam, skenario paling mungkin adalah monyet semakin berkurang di hutan, konflik makin sering, dan penyakit baru bermunculan. Tapi masa depan tidak harus begitu. Ada skenario lain yang lebih manusiawi dan realistis:
- Sains memimpin kebijakan. Data populasi diperbarui rutin, bukan hanya sekali dalam puluhan tahun. Keputusan pemanfaatan satwa mengikuti prinsip kehati-hatian.
- Ekonomi lokal beralih. Masyarakat yang masih bergantung pada beruk pekerja bisa beralih ke teknologi panen kelapa atau ekowisata non-kontak yang lebih aman dan menguntungkan.
- Budaya baru konsumen. Masyarakat malu membeli satwa liar, malu memberi makan monyet liar, dan malu memamerkan foto berinteraksi dengan primata. Norma sosial bisa berubah, sama seperti dulu kita akhirnya berhenti menganggap rokok di ruang publik itu wajar.
- Restorasi dan koridor. Patch hutan kecil yang tercerai-berai dihubungkan kembali. Satwa punya jalur aman untuk bergerak, konflik dengan manusia pun berkurang.
Solusi & Harapan ke Depan
- Hentikan perdagangan dan eksploitasi. Penegakan hukum harus menyasar seluruh rantai: pemburu, pengepul, penjual, hingga pembeli.
- Edukasi publik. Kampanye anti-topeng monyet perlu diperluas. Sekolah, media, komunitas bisa jadi garda depan mengubah cara pandang.
- Alternatif ekonomi. Sediakan alat panen kelapa modern, dorong usaha hutan non-kayu, dan kembangkan wisata berbasis pengamatan satwa liar.
- Restorasi habitat. Tanam kembali hutan, buat koridor satwa, dan jaga pohon pakan alami.
- Kolaborasi semua pihak. Pemerintah, NGO, akademisi, jurnalis, dan masyarakat lokal harus duduk bersama. Tanpa kerja kolektif, konservasi hanya jadi jargon.
- Narasi baru. Ubah cara bercerita tentang monyet. Bukan lagi "hewan lucu yang bisa disuruh menari", melainkan makhluk yang menjaga hutan kita tetap hidup.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Tak perlu menunggu jadi aktivis atau peneliti. Hal-hal sederhana pun berarti:
- Jangan membeli satwa liar.
- Jangan memberi makan monyet liar saat wisata.
- Laporkan perdagangan satwa ke kanal resmi.
- Dukung produk ramah hutan dan wisata tanpa kontak langsung dengan satwa.
- Sebarkan cerita yang benar. Satu unggahan edukatif bisa mengubah cara pandang banyak orang.
Penutup
Menyelamatkan monyet ekor panjang dan beruk bukan sekadar soal satwa. Ini tentang masa depan hutan, air, dan udara yang kita hirup. Angka 105 ribu individu yang tersisa di kawasan lindung mungkin terdengar besar, tapi di luar sana banyak kelompok yang sudah punah tanpa jejak. Beruk, yang sangat bergantung pada hutan utuh, terus menyusut bersama deforestasi.
Pertanyaan sederhana: apakah kita mau dikenang sebagai generasi yang membiarkan primata paling akrab dengan manusia hilang begitu saja? Atau generasi yang berani mengubah arah dari eksploitasi menuju koeksistensi?
Pilihan ada di tangan kita. Dan waktunya, jelas: sekarang.
Referensi
IUCN Red List (2022, update 2024): Status Macaca fascicularis & Macaca nemestrina Lihat di sini
Survei Lampung 2024: Populasi 9.948 monyet ekor panjang di Tabuan, Legundi, Umang-umang Lihat riset
ProFauna Indonesia (2021): Kampanye perlindungan primata di Indonesia Baca di sini
Studi Riau 2024: Konflik manusia--monyet ekor panjang di permukiman Cek artikel
Publikasi 2025 (Aceh): Risiko zoonosis dari monyet ekor panjang di lokasi ekowisata Baca lengkap
Publikasi 2025 (Bali): Perdagangan tengkorak primata di pusat wisata Lihat laporan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI