Mohon tunggu...
Tresnaning Diah
Tresnaning Diah Mohon Tunggu... Penulis fiksi dan nonfiksi. Pencinta kata, pejalan sunyi, penyusun napas dari serpih-serpih cerita.

Perempuan yang percaya bahwa setiap luka punya kata, dan setiap kata bisa jadi ruang pulang. Menulis sudah menjadi panggilan hati sejak remaja, tapi baru satu tahun terakhir keberanian itu benar-benar diberi ruang untuk tumbuh dan bersuara. Baginya, menulis bukan hanya tentang mengisi halaman, tetapi menyusun ulang hidup, menemukan makna di balik kehilangan, keheningan, dan hal-hal yang tak pernah sempat diucapkan. Pernah berkarya di industri migas, kini meniti jalan sunyi sebagai perangkai kata. Ia menemukan pelipur bukan hanya dalam kalimat, tetapi juga dalam jejak Langkah, menapaki gunung saat hati merindukan ketenangan, atau sekadar menyelam ke dalam sunyi untuk memahami diri sendiri. Cerita-ceritanya hadir dari ruang paling personal: tentang cinta yang tak selesai, perempuan yang belajar berdiri lagi, dan dunia yang kadang terlalu keras namun tetap ingin dipeluk. Genre favorit: roman reflektif, slice of life, fantasi spiritual, dan kisah yang ditulis dengan nurani.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Hentikan Eksploitasi, Selamatkan Monyet Ekor Panjang dan Beruk

15 September 2025   22:17 Diperbarui: 15 September 2025   22:17 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beruk pun diperlakukan tak kalah kejam. Mereka dilatih keras untuk memanjat dan menjatuhkan kelapa. Mereka jarang dilepas, nilai hidupnya ditentukan dari berapa buah yang berhasil dijatuhkan.

Selain penderitaan, ada risiko lain: penyakit. Kontak terlalu dekat dengan primata bisa memicu penularan penyakit baru. Studi terbaru menemukan monyet di lokasi wisata membawa beban penyakit tinggi. Artinya, bercanda atau memberi makan mereka bukan hanya salah, tapi juga berbahaya untuk kesehatan kita.

Konflik Manusia-Monyet: Siapa yang Salah?

Di banyak desa, monyet ekor panjang dianggap pengganggu. Mereka mencuri mangga, merusak kebun, bahkan masuk ke dapur. Tak jarang, mereka diracun atau ditembak.

Tapi mari kita balik tanya: siapa yang lebih dulu merusak batas? Ketika hutan ditebang untuk kebun atau bangunan, monyet kehilangan rumah. Mereka mencari makan di kebun bukan karena nakal, tapi karena lapar.

Beberapa inisiatif di lapangan membuktikan konflik ini bisa dikelola tanpa kekerasan:

  • Pagar listrik ramah satwa yang hanya memberi sengatan kecil.
  • Tanaman penghalang yang tidak disukai monyet.
  • Manajemen sampah agar mereka tidak terbiasa mencari sisa makanan manusia.
  • Edukasi koeksistensi, mengajarkan warga cara menghadapi monyet tanpa melukai.

Konflik tidak akan selesai kalau hanya berpusat pada "mengusir". Yang dibutuhkan adalah membangun ulang batas ruang hidup yang selama ini diambil manusia.

Mengapa Kita Harus Peduli?

Banyak orang bilang: "Monyet kan masih banyak." Padahal itu ilusi. Mereka terlihat ramai di satu titik, tapi sebetulnya kosong di banyak hutan.

Jika monyet dan beruk hilang, kita akan merasakannya. Mereka adalah penyebar biji alami. Tanpa mereka, regenerasi hutan melambat. Hutan yang melemah berarti lebih rawan banjir, longsor, dan krisis air. Pada akhirnya, yang rugi bukan hanya satwa, tapi manusia.

Dan lebih dari sekadar ekologi, ini soal moralitas. Bagaimana kita memperlakukan satwa mencerminkan siapa kita sebagai manusia. Apakah kita rela membiarkan rantai di leher primata menjadi hiburan anak-anak kota? Atau kita berani berkata: sudah cukup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun