Mohon tunggu...
Tresnaning Diah
Tresnaning Diah Mohon Tunggu... Penulis fiksi dan nonfiksi. Pencinta kata, pejalan sunyi, penyusun napas dari serpih-serpih cerita.

Perempuan yang percaya bahwa setiap luka punya kata, dan setiap kata bisa jadi ruang pulang. Menulis sudah menjadi panggilan hati sejak remaja, tapi baru satu tahun terakhir keberanian itu benar-benar diberi ruang untuk tumbuh dan bersuara. Baginya, menulis bukan hanya tentang mengisi halaman, tetapi menyusun ulang hidup, menemukan makna di balik kehilangan, keheningan, dan hal-hal yang tak pernah sempat diucapkan. Pernah berkarya di industri migas, kini meniti jalan sunyi sebagai perangkai kata. Ia menemukan pelipur bukan hanya dalam kalimat, tetapi juga dalam jejak Langkah, menapaki gunung saat hati merindukan ketenangan, atau sekadar menyelam ke dalam sunyi untuk memahami diri sendiri. Cerita-ceritanya hadir dari ruang paling personal: tentang cinta yang tak selesai, perempuan yang belajar berdiri lagi, dan dunia yang kadang terlalu keras namun tetap ingin dipeluk. Genre favorit: roman reflektif, slice of life, fantasi spiritual, dan kisah yang ditulis dengan nurani.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Hentikan Eksploitasi, Selamatkan Monyet Ekor Panjang dan Beruk

15 September 2025   22:17 Diperbarui: 15 September 2025   22:17 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Balik Kebijakan: Celah dan Harapan

Saat ini, kebijakan konservasi kita masih bolong-bolong. Monyet ekor panjang bahkan belum sepenuhnya masuk daftar satwa dilindungi di tingkat nasional. Celah ini membuat praktik eksploitasi susah ditindak.

Di sisi lain, data yang kita miliki masih timpang. Angka 105 ribu individu tadi hanya mencakup kawasan konservasi. Kita belum tahu persis berapa yang bertahan di luar kawasan, yang justru paling rentan diburu. Tanpa data menyeluruh, sulit membuat kebijakan yang tepat.

Namun ada harapan. Beberapa lembaga mulai mendorong pemantauan rutin, survei kolaboratif, hingga penggunaan teknologi kamera jebak. Jika dilakukan konsisten, data ini bisa jadi dasar untuk kebijakan yang lebih berani.

Proyeksi Masa Depan: Dari Krisis ke Koeksistensi

Kalau kita terus diam, skenario paling mungkin adalah monyet semakin berkurang di hutan, konflik makin sering, dan penyakit baru bermunculan. Tapi masa depan tidak harus begitu. Ada skenario lain yang lebih manusiawi dan realistis:

  1. Sains memimpin kebijakan. Data populasi diperbarui rutin, bukan hanya sekali dalam puluhan tahun. Keputusan pemanfaatan satwa mengikuti prinsip kehati-hatian.
  2. Ekonomi lokal beralih. Masyarakat yang masih bergantung pada beruk pekerja bisa beralih ke teknologi panen kelapa atau ekowisata non-kontak yang lebih aman dan menguntungkan.
  3. Budaya baru konsumen. Masyarakat malu membeli satwa liar, malu memberi makan monyet liar, dan malu memamerkan foto berinteraksi dengan primata. Norma sosial bisa berubah, sama seperti dulu kita akhirnya berhenti menganggap rokok di ruang publik itu wajar.
  4. Restorasi dan koridor. Patch hutan kecil yang tercerai-berai dihubungkan kembali. Satwa punya jalur aman untuk bergerak, konflik dengan manusia pun berkurang.

Solusi & Harapan ke Depan

  1. Hentikan perdagangan dan eksploitasi. Penegakan hukum harus menyasar seluruh rantai: pemburu, pengepul, penjual, hingga pembeli.
  2. Edukasi publik. Kampanye anti-topeng monyet perlu diperluas. Sekolah, media, komunitas bisa jadi garda depan mengubah cara pandang.
  3. Alternatif ekonomi. Sediakan alat panen kelapa modern, dorong usaha hutan non-kayu, dan kembangkan wisata berbasis pengamatan satwa liar.
  4. Restorasi habitat. Tanam kembali hutan, buat koridor satwa, dan jaga pohon pakan alami.
  5. Kolaborasi semua pihak. Pemerintah, NGO, akademisi, jurnalis, dan masyarakat lokal harus duduk bersama. Tanpa kerja kolektif, konservasi hanya jadi jargon.
  6. Narasi baru. Ubah cara bercerita tentang monyet. Bukan lagi "hewan lucu yang bisa disuruh menari", melainkan makhluk yang menjaga hutan kita tetap hidup.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tak perlu menunggu jadi aktivis atau peneliti. Hal-hal sederhana pun berarti:

  • Jangan membeli satwa liar.
  • Jangan memberi makan monyet liar saat wisata.
  • Laporkan perdagangan satwa ke kanal resmi.
  • Dukung produk ramah hutan dan wisata tanpa kontak langsung dengan satwa.
  • Sebarkan cerita yang benar. Satu unggahan edukatif bisa mengubah cara pandang banyak orang.

Penutup

Menyelamatkan monyet ekor panjang dan beruk bukan sekadar soal satwa. Ini tentang masa depan hutan, air, dan udara yang kita hirup. Angka 105 ribu individu yang tersisa di kawasan lindung mungkin terdengar besar, tapi di luar sana banyak kelompok yang sudah punah tanpa jejak. Beruk, yang sangat bergantung pada hutan utuh, terus menyusut bersama deforestasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun