Mohon tunggu...
Tresnaning Diah
Tresnaning Diah Mohon Tunggu... Penulis fiksi dan nonfiksi. Pencinta kata, pejalan sunyi, penyusun napas dari serpih-serpih cerita.

Perempuan yang percaya bahwa setiap luka punya kata, dan setiap kata bisa jadi ruang pulang. Menulis sudah menjadi panggilan hati sejak remaja, tapi baru satu tahun terakhir keberanian itu benar-benar diberi ruang untuk tumbuh dan bersuara. Baginya, menulis bukan hanya tentang mengisi halaman, tetapi menyusun ulang hidup, menemukan makna di balik kehilangan, keheningan, dan hal-hal yang tak pernah sempat diucapkan. Pernah berkarya di industri migas, kini meniti jalan sunyi sebagai perangkai kata. Ia menemukan pelipur bukan hanya dalam kalimat, tetapi juga dalam jejak Langkah, menapaki gunung saat hati merindukan ketenangan, atau sekadar menyelam ke dalam sunyi untuk memahami diri sendiri. Cerita-ceritanya hadir dari ruang paling personal: tentang cinta yang tak selesai, perempuan yang belajar berdiri lagi, dan dunia yang kadang terlalu keras namun tetap ingin dipeluk. Genre favorit: roman reflektif, slice of life, fantasi spiritual, dan kisah yang ditulis dengan nurani.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Antara Gerimis yang Tak Pernah Usai

17 Juni 2025   13:31 Diperbarui: 17 Juni 2025   13:31 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku selalu percaya bahwa cinta sejati tidak datang dengan gegap gempita. Ia menyusup pelan, seperti hujan pertama yang turun di bulan Juni, tak terduga, tak bisa dihentikan, dan selalu meninggalkan jejak.
Namamu, Rey, adalah jejak yang tak pernah bisa kuhapus, meski waktu sudah berjalan jauh darimu.

Rey bukan kisah masa remaja. Ia datang saat aku sudah dewasa. Saat hatiku tak lagi mudah terpesona oleh puisi-puisi Instagram atau bunga plastik dalam kotak cokelat. Ia datang seperti sore yang tidak pernah kupersiapkan, tetapi kuijinkan menetap.

Kami bertemu di pelatihan relawan di Jogja, ketika dunia baru belajar bangkit dari pandemi. Ia duduk di kursi sampingku, membawa dua cangkir kopi tubruk dari warung kaki lima.

"Aku bawa dua. Kalau kamu suka pahit, ini untukmu. Kalau nggak, kita bisa tukar," katanya waktu itu, seolah kami sudah saling kenal sejak bertahun-tahun.

Aku tertawa. Bukan karena lucu, tapi karena terasa akrab. Terlalu akrab untuk seseorang yang baru kukenal dalam lima belas menit.

Sejak hari itu, kami seperti dua manusia yang saling mengisi ruang kosong dalam hidup masing-masing. Rey bukan tipikal lelaki romantis. Ia tidak pandai berkata manis, tapi ia selalu tahu kapan harus diam dan kapan harus hadir. Ia tidak pernah berjanji akan selalu ada, tapi ia selalu kembali, hingga satu hari, ia tidak.

Kami tidak pernah menyebut hubungan kami dengan nama. Tidak pacaran. Tidak juga sahabat. Karena sejujurnya, rasa kami lebih dalam dari sekadar teman, tapi terlalu rumit untuk diberi label kekasih. Kami saling menampung, saling merawat, tanpa menyentuh batas-batas sosial tentang 'kita'.

Pernah suatu malam, Rey menuliskan puisi kecil di kertas bon sisa makan kami. Ia menyerahkannya begitu saja tanpa berkata apa-apa. Isinya sederhana:

Kalau nanti kamu pergi lebih dulu,
bolehkah aku tetap menunggumu,
meski hanya di ruang yang tidak kau kunjungi lagi.

Aku menyimpannya di dalam dompet selama berbulan-bulan. Entah kenapa, tak pernah bisa kubuang.

Mungkin itu sebabnya, ketika Rey menghilang, rasa kehilangan itu bukan sekadar perpisahan. Tapi seperti kehilangan arah, kehilangan tempat pulang yang tak pernah sempat dibangun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun