Mohon tunggu...
Toto Trisno
Toto Trisno Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa yang gemar menulis dan mengamati konflik yang bermunculan di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

RUU Polri Sebuah Langka Mundur dalam Reformasi Kepolisian

27 Maret 2025   14:08 Diperbarui: 27 Maret 2025   14:08 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

RUU yang sedang dibahas terkait perubahan UU Kepolisian No. 2 Tahun 2002, banyak menimbulkan kekhawatiran di kalangan publik. Ketika keinginan memberikan ruang untuk reformasi yang lebih baik dalam tubuh kepolisian, RUU ini justru dianggap memperluas kekuasaan Polri tanpa diimbangi oleh mekanisme pengawasan yang jelas. Beberapa pihak melihat RUU ini sebagai langkah mundur dalam mewujudkan lembaga kepolisian yang transparan dan profesional. Tanpa ada penanganan terhadap masalah-masalah mendasar, seperti lemahnya akuntabilitas dan penyalahgunaan kekuasaan, RUU ini berpotensi menjadikan Polri sebagai lembaga dengan kewenangan tanpa batas yang sulit untuk diawasi.

Sejumlah lembaga masyarakat sipil dan negara telah lama mengkritisi tren otoritarianisme dalam institusi kepolisian. Data yang dihimpun oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat ribuan kasus kekerasan yang melibatkan anggota Polri pada periode 2020--2024. Kasus-kasus tersebut mencakup penembakan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, hingga pembunuhan di luar proses hukum. Selain itu, Komnas HAM juga mencatatkan Polri sebagai lembaga negara yang paling banyak dilaporkan terkait pelanggaran hak asasi manusia.

Peningkatan kewenangan Polri yang diatur dalam RUU ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Salah satu pasal kontroversial dalam RUU ini adalah Pasal 16 Ayat (1) Huruf (q), yang memberikan kewenangan luas kepada Polri dalam mengawasi ruang siber, termasuk pemblokiran dan pembatasan akses internet. Ini berisiko mengancam kebebasan berekspresi, terutama jika kewenangan tersebut digunakan untuk meredam kritik dan protes masyarakat. Selain itu, RUU ini juga memberi Polri kewenangan yang sangat besar dalam bidang intelijen dan penyadapan tanpa adanya pengawasan yang jelas.

Tak hanya itu, pasal-pasal dalam RUU ini juga memperkuat posisi Polri sebagai aktor politik, bukan hanya sebagai aparat penegak hukum. Dengan adanya pengawasan digital dan pengendalian kebebasan sipil yang semakin luas, Polri bisa dimanfaatkan untuk memperkuat kekuasaan kelompok tertentu, bukan untuk kepentingan publik. Dalam sebuah sistem demokrasi, penting adanya keseimbangan antar lembaga negara agar tidak ada satu lembaga yang memiliki kekuasaan absolut. Sayangnya, RUU Polri justru memperbesar kewenangan Polri tanpa adanya kontrol yang memadai.

Jika RUU ini disahkan tanpa revisi yang signifikan, Indonesia berisiko mengalami kemunduran dalam hal demokrasi. Dengan kewenangan yang sangat besar dan tanpa kontrol yang jelas, Polri bisa menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini akan membalikkan hasil reformasi 1998 yang bertujuan untuk menciptakan institusi kepolisian yang transparan, profesional, dan akuntabel. RUU ini bisa memperburuk kondisi yang selama ini telah ada, di mana penyalahgunaan kekuasaan di tubuh Polri menjadi masalah besar.

Dalam konteks ketatanegaraan, Polri seharusnya berfungsi sebagai alat negara yang menjaga keamanan, menegakkan hukum, dan melindungi hak asasi manusia. Oleh karena itu, revisi terhadap UU Polri seharusnya fokus pada penguatan mekanisme pengawasan terhadap Polri, pembatasan kewenangan intelijen, serta memastikan bahwa tindakan penyadapan dilakukan dengan izin pengadilan yang jelas. Selain itu, RUU ini juga perlu memperjelas batasan kewenangan Polri dalam ruang siber agar kebebasan berekspresi tetap terjaga. Jika perbaikan ini tidak dilakukan, RUU Polri hanya akan memperbesar potensi penyalahgunaan kekuasaan dan membawa Indonesia kembali ke era otoritarianisme.

Reformasi yang sebenarnya diperlukan adalah reformasi yang memberikan jaminan bagi hak asasi manusia dan menjamin Polri berfungsi sesuai dengan prinsip demokrasi. Tanpa adanya perbaikan mendalam, RUU Polri ini bisa menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi Indonesia. Jika Polri kembali menjadi alat politik yang represif, maka perjuangan reformasi yang telah berlangsung selama lebih dari dua dekade akan sia-sia. Indonesia berisiko kehilangan arah menuju negara hukum yang lebih baik, dan kembali terperangkap dalam kekuasaan yang absolut dan tanpa batas.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun