Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru Penggerak Teman Akrab Bencana

18 Februari 2024   11:17 Diperbarui: 19 Februari 2024   01:01 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan simulasi bencana gempa bumi di salah satu sekolah siaga bencana (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)

Guru Penggerak Teman Akrab Bencana

Indonesia membutuhkan guru penggerak dan kurikulum kebencanaan yang cocok diterapkan dalam berbagai jenjang pendidikan. Hiruk pikuk tahun politik membuat segenap bangsa terlena dengan ancaman bencana alam yang terus mengintai di berbagai pelosok negeri.

Eksistensi guru penggerak kebencanaan perlu disinkronkan dengan program mitigasi di daerah rawan bencana. Guru penggerak mitigasi bencana alam sebaiknya masih berusia muda karena membutuhkan fisik yang trengginas dan stamina yang masih kuat. 

Guru penggerak kebencanaan minimal mendapatkan tambahan pengetahuan tentang mitigasi bencana paling tidak seperti taruna siaga bencana ( Tagana ). Guru penggerak kebencanaan sebaiknya mendapatkan insentif atau penghasilan tambahan.

Banyak yang tidak sadar bahwa sebenarnya setiap menit bahkan detik, di bumi tempat kita berpijak ini kondisi terus bergetar akibat gempa bumi. Guru penggerak diharapkan bisa mengubah persepsi publik yang menjadikan gempa bumi sebagai "teman akrab". 


Sebagai layaknya "teman akrab" maka harus paham betul fenomena dan karakternya. Kapan dia datang dan dengan apa menyambutnya sudah barang tentu menjadi semacam tradisi modern. 

Dengan demikian masyarakat memiliki nalar ilmiah, filosofi serta teknologi tepat guna dalam menyambut "teman akrab" itu. Berbagai desain dan prinsip-prinsip mitigasi seperti bangunan yang akrab dengan gempa sudah barang tentu diaplikasikan secara optimal.

Saya mulai mengenal ilmu kebencanaan ketika duduk di kelas dua SMA Negeri 2 Nganjuk pada awal tahun 80-an. 

Ketika itu Pak Suwardi, guru mata pelajaran Bumi dan Antariksa memberikan penjelasan tentang lapisan bumi yang terus bergerak yang disebut sesar atau patahan. Pak Suwardi hanya berbekal alat peraga berupa gambar-gambar sederhana dan buku dengan kertas stensilan. 

Meskipun demikian konten tentang kebencanaan tersebut sangat inspiratif dan mengesankan siswa. Pada era teknologi Google Earth saat ini tentunya sangat mudah membuat konten kebencanaan lebih canggih.

Konten kurikulum kebencanaan sebaiknya ditekankan kepada aspek mitigasi, sosialisasi dan sistem komunikasi. Gempabumi dari skala terkecil hingga terbesar jika dihitung pertahun bisa terjadi dalam jumlah ribuan. Yang harus sekarang dilakukan oleh publik adalah apa yang harus disiapkan sebelum, sesaat dan setelah gempa bumi terjadi.

Guru membuat alat peraga untuk pendikan kebencanaan ( sumber KOMPAS.id )
Guru membuat alat peraga untuk pendikan kebencanaan ( sumber KOMPAS.id )

Perlu platform pembelajaran untuk menunjang kurikulum kebencanaan. Platform tersebut mampu memperagakan simulasi bencana dan aktivitas tanggap darurat. Para siswa juga perlu diberi pengetahuan terkait kearifan lokal dalam menghadapi bencana.

Praktik kearifan lokal terbukti telah mengurangi dampak bencana alam, misalnya di tiga pulau di Sumatera, yakni Simeulue, Nias, dan Siberut yang sering dilanda tsunami dan gempa bumi. 

Dengan kebudayaan yang berbeda beda, ketiga pulau itu, yang dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir mengalami bencana gempa bumi dan tsunami, telah mengangkat ke permukaan pelbagai praktik kearifan lokal yang sebelumnya luput dari perhatian masyarakat internasional yang peduli pada upaya pengurangan risiko bencana.

Praktik yang mencakup antara lain seperti sarana komunikasi tradisional, metode pembangunan dan perencanaan hunian, serta upacara ritual yang terkait. 

Masyarakat Simeulue menggunakan kata smong untuk menyebut peristiwa tsunami. Adanya istilah lokal untuk menyebut peristiwa tsunami membuktikan bahwa masyarakat setempat memiliki pengetahuan hingga tingkat tertentu berkaitan dengan fenomena alam itu. 

Ketika Tsunami 2004 lalu korban yang jatuh di daerah tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan wilayah lain, yaitu sekitar 44 jiwa. Hal ini terjadi karena para orangtua di daerah tersebut telah mengetahui apa yang mereka anggap sebagai pertanda.

Bangunan rumah tradisional di Aceh yang akrab bencana ( KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH )
Bangunan rumah tradisional di Aceh yang akrab bencana ( KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH )

Membangun budaya sadar bencana. Mitigasi dan edukasi terkait bencana salah satunya gempabumi harus diperkuat mulai dari usia dini. Masyarakat seharusnya sudah mulai membudayakan perilaku sadar bencana. 

Memperbanyak dan merutinkan latihan-latihan penyelamatan yang dilakukan jika terjadi gempa bumi, juga bisa menjadi salah satu cara dalam membentuk sebuah kebiasaan yang bermanfaat jika gempa bumi yang sebenarnya terjadi.

Selain itu tata ruang kota juga diperhatikan. Wilayah-wilayah rawan dan memiliki potensi risiko tinggi saat gempa bumi terjadi juga perlu dihindari agar tidak terjadi kepadatan penduduk di wilayah tersebut. 

Building code menjadi salah satu hal wajib yang juga perlu diperhatikan dalam membangun sesuatu. Gedung-gedung yang baru akan dibangun, harus benar-benar memperhatikan building code yang telah ditetapkan.

Guru penggerak kebencanaan perlu bersinergi dengan BMKG untuk memberikan edukasi dan mitigasi bencana ke berbagai komunitas. Salah satu langkah yang dilakukan BMKG adalah memperbanyak Sekolah Lapang Gempa (SLG).

Sebaiknya kita melihat keberhasilan pendidikan kebencanaan di Jepang. Ternyata sejak usia dini, anak-anak di Jepang sudah diajarkan untuk tanggap terhadap bencana. 

Di Jepang simulasi evakuasi sering dilakukan di sekolah. Salah satu contoh keberhasilan dari simulasi evakuasi saat bencana tersebut dapat terlihat ketika terjadi bencana gempa bumi berkekuatan 9 Magnitudo mengguncang Jepang dan kemudian diikuti dengan tsunami. 

Sebanyak 3.000 siswa SD dan SMP di Unosumai, Kamaishi, Prefektur Iwate berhasil diselamatkan.Dari 1.000 korban jiwa di Unosomai, hanya lima yang berstatus pelajar.

Bencana alam terjadi bergantian di wilayah Indonesia. Rentetan bencana harus menyadarkan kita pentingnya mewujudkan sistem mitigasi yang tangguh. 

Buruknya mitigasi selama ini diperparah dengan kurangnya edukasi kebencanaan dan tiadanya sistem manajemen krisis yang ideal oleh pemerintah daerah.

Akibatnya beberapa saat setelah terjadi bencana pemerintah daerah menjadi lumpuh dan tidak berdaya menangani dampak bencana. Akibat lemahnya sistem mitigasi pemerintah daerah kehilangan kendali saat terjadi bencana.

Kesadaran global akan kebencanaan semakin meningkat. Kerangka kerja global oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk pengurangan risiko bencana tertuang dalam Kesepakatan Paris (2015). Badan-badan PBB secara total telah mendorong penerapan metode baru.

Dengan metode baru itu langkah mitigasi tidak berhenti hanya sekedar menginformasikan perkiraan semata dan peringatan dini, tetapi juga menghitung potensi keterpaparan dan kerentanan wilayah terdampak. Berbagai aspek diatas tidak bisa dilakukan dengan pengamatan manual.

Penanganan bencana merupakan tanggung jawab dari pemerintah pusat dan daerah. Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana antara lain adalah cepat dan tepat, prioritas, koordinasi dan keterpaduan, berdaya guna dan berhasil guna. 

Menurut UU No. 24, 2007 tujuan utama penanggulangan bencana adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana dan menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.

Pelaksana penanggulangan bencana menurut UU adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Badan ini membutuhkan data yang akurat pada saat bencana terjadi agar bisa melakukan penanggulangan bencana yang cepat dan tepat serta terkoordinasi dan menyeluruh dengan lembaga pemerintah yang terkait.

Bencana alam yang terus terjadi merupakan peringatan agar kita selalu menyempurnakan sistem mitigasi dan mekanisme tanggap darurat secara cepat dan tepat dengan bantuan teknologi terkini. (TS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun