Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Eksploitatif

12 November 2009   23:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:21 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini terinspirasi oleh catatan dalam buku Patologi Sosial karangan Dra. Kartini Kartono (Rajawali,  1981 halaman 52 - 53) dengan judul sama.

...organisasi - organisasi  yang setengah atau tidak legal sering juga dieksploitasi oleh kelompok-kelompok politik dan sosial lainnya. Misalnya oleh para dokter, psikiater, politisi, jaksa, hakim, pejabat lokal, polisi dan lain-lain untuk dijadikan "sapi perah" dan sumber-sumber keuangan inkonvensional. Juga surat kabar sering membesar-besarkan peristiwa dan mempertinggi visibilitas aktivitas-aktivitas patologik guna menambah sirkulasi jumlah korannya.

Wayang Kartun  Ki Slamet Eser

ESER_1.1.jpg
ESER_1.1.jpg


Kehidupan masyarakat  Indonesia akhir-akhir ini  banyak diwarnai oleh tampilnya budaya eksploitatif. Mulai dari infotainment yang berisi gosip selebritas, acara TV semacam Take Me/Him Out dll. Di pusat-pusat perbelanjaan yang berubah menjadi catwalk, acara perkumpulan sosial yang jadi show room atau jewelary bergerak atau di jalan-jalan sebagai arena indie festival dsb. Hal serupa juga terjadi di lingkungan sekolah dan kampus, pelataran parkir kantor-kantor pemerintah dan gedung DPR/ DPRD serta banyak contoh lain yang intinya menguatkan pandangan bahwa budaya ekshibisme (suka pamer tidak pada tempat dan waktu yang sesuai).

Contoh  yang paling sederhana adalah pemakaian frasa " gila abiss,... gokil banget" atau ungkapan sejenis yang kian banyak digunakan untuk menunjukkan ekspresi diri bahwa yang dilakukan adalah tiada tanding dan tiada banding. Salahkah hal itu..? Tidak sepenuhnya. Tapi menjadi catatan penting bahwa praktik budaya eksploitatif semakin terasa adanya di tengah kehidupan masyarakat yang masih banyak berada di lingkungan kemiskinan absolut.

Akibatnya, jurang kemiskinan semakin melebar ketika institusi negara yang berkewajiban menyelenggarakan tatanan sosial justru larut dalam di dalamnya. Misalnya, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang semestinya bertindak selaku polisinya pamong praja (pegawai negeri sipil) sering memasuki wilayah hukum publik yang menjadi porsi tugas Kepolisian Negara. Atau pemanfaatan makelar kasus oleh aparat penegak hukum, calo rekrutmen PNS dan anggota TNI/ Polri, praktik aborsi ilegal oleh dokter atau paramedik dst. Singkat kata, masyarakat komersial dan didera oleh tuntutan materiil tinggi itu menyuburkan perilaku budaya eksploitatif. Selanjutnya, pola seperti ini memiliki kecenderungan kuat untuk memanipulasi dan memeras pihak-pihak yang lemah.

Beberapa teknik eksploitatif diantaranya propaganda melalui media massa dan menyebar fitnah yang berujung pada tindak pemerasan. Dalam iklim budaya modern yang sangat eksploitatif ini setiap kelemahan dan penyimpangan pola tingkah laku adalah lahar subur bagi tindak pemerasan oleh banyak pihak. Semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk menggali lebih dalam unsur-unsur budaya lokal dan nasional sebagai upaya mengatasi krisis kepercayaan diri dan institusional agar Indonesia dapat menampilkan jati dirinya di tengah pergaulan masyarakat internasional. Tidak ada lagi pemalsuan hak budaya oleh bangsa lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun