Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Peristiwa Akbar yang Minim Publikasi

2 Agustus 2013   06:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:43 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13753971531605663549

Pulang kampung atau mudik adalah satu dari beragam tradisi orang Indonesia di saat merayakan hari raya, terutama hari-hari besar keagamaan. Karena secara statistik kebanyakan orang Indonesia adalah muslim, ada dua hari raya yang biasa menjadi agenda penting masyarakat yaitu Idul Fitri atau Lebaran dan Idul Adha yang popular disebut Besar atau hari raya qurban. Dari keduanya, kecenderungan umum melakukan perjalanan pulang kampung adalah di kala Idul Fitri.

Tradisi Lebaran selalu menarik perhatian karena melibatkan banyak sekali pihak dan perputaran uang yang dapat mencapai nilai triliunan rupiah. Dari soal sarana dan prasarana transportasi, keamanan lingkungan, para pengusaha yang menyiapkan Tunjangan Hari Raya, pedagang asongan, keluarga di kampung sampai pemerintah daerah yang menjadi tujuan para pemudik dan banyak pihak lainnya punya peran masing-masing. Pada umumnya, semua pihak tersebut menyambut peristiwa ini dengan suka cita.

Tahun 2013 ini, peristiwa mudik nasional ada yang cukup istimewa. Yakni kedatangan atau mungkin juga kepulangan sejumlah orang perantau Indonesia dari berbagai negara di seluruh penjuru dunia ke kampung halaman, Indonesia Raya. Mereka adalah para diaspora. Orang-orang yang memiliki keterikatan batin dengan budaya dan kehidupan di kampung halaman. Sekitar 2.000 orang dari 8 – 10 juta orang diaspora Indonesia akan mengikuti satu acara yang diberi nama “Pulang Kampung” untuk menamai Kongres II Diaspora Indonesia (2nd  Congress of Indonesia Diaspora atau CID) di Jakarta Convention Center, 18 – 20 Agustus 2013.  Penamaan yang sangat tepat dengan suasana keindonesiaan saat itu. Yakni musim mudik massal dan di tengah perayaan umum Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke 68.

Menurut penuturan President of Diaspora Indonesia, Mohammad Al-Arif, Diaspora Indonesia memiliki tiga kategori. Mereka adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang bertempat tinggal di negara lain, WNI yang telah menjadi Warga NegaraAsing (WNA), dan warga negara asing tetapi memiliki afinitas untuk Indonesia. Selanjutnya ditambahkan pula bahwa ada lima pilar dalam organisasi yang dipimpinnya, Indonesia Diaspora Network (Jejaring Diaspora Indonesia) atau IDN yang disepakati peserta CID I di Los Angeles, Amerika Serikat Juli 2012. Yaitu sektor bisnis dan investasi, kegiatan sosial, pertukaran pelajar, advokasi kebijakan dan jejaring profesi  (profesional networking). Entah sebagai satu kesadaran atau suatu kebetulan, lima pilar tersebut menyerupai dasar negara Republik Indonesia, Pancasila.

Besarnya potensi, perhatian dan kesadaran yang dimiliki para diaspora Indonesia itu tidak serta merta mendapat sambutan positif di tanah air. Hal ini dapat dicermati dari sedikitnya publikasi acara yang seolah tertelan kemeriahan tradisi mudik lokal yang setiap tahun selalu dilirik dan menjadi perhatian penting media massa. Sampai saat tulisan ini dibuat, belum nampak adanya iklan dan bentuk-bentuk publikasi akbar yang menunjukkan betapa besar dan pentingnya CID II itu. Hanya publikasi internal di situs :  dan Kementrian Luar Negeri RI  yang telah memasangnya. Jika ada media massa nasional yang mengangkat berita seputar acara Pulang Kampung ini, sifatnya publikasi biasa dan berkesan dikemas seadanya.

Minimnya sambutan publik atas peristiwa yang sangat bersejarah di tengah kemerosotan derajat kepercayaan masyarakat terhadap organisasi-organisasi formal, IDN dengan CID II-nya adalah satu peluang besar, kalau tidak dapat disebut raksasa di awal abad 21. Sebagai gambaran kecil, ketika sebagian besar diaspora Indonesia di Amerika Serikat (AS) rata-rata memiliki pendapatan/kapita/tahun sebesar US$ 59,000 ; Income/Capita penduduk AS tercatat pada tingkat US$ 45,000. Sementara itu, Menko Ekuin, Hatta Radjasa menyebut angka US$ 4,000 untukpendapatan per kapita Indonesia di tahun 2013.

Apakah sepinya publikasi tentang Kongres II Diaspora Indonesia (CID II) di Kampung Halaman adalah ekspresi sinisme publik seperti yang ditengara oleh penggagas, Dr. Dino Pati Jalal? Tidak mudah untuk mendapat jawaban pasti. Hal yang sama juga berlaku untuk menelusur ke sumber di lingkungan IDN (Jejaring Diaspora Indonesia). Dari sejumlah berita yang dapat dikumpulkan dari internet,  di saat banyak orang menyatakan ketidakyakinan diri (pesimis) dan masa bodoh atas kenyataan hidup yang tengah berjalan di dalam negeri, Diaspora Indonesia justru menggagas dan menyusun rencana aksi untuk berbuat terbaik bagi negeri leluhur, kampung halaman dan tanah airnya, Indonesia.

Munculnya sinisme publik atas beragam faktor aktual di dalam negeri boleh jadi merupakan satu dari sekian banyak alasan para diaspora Indonesia menyelenggarakan Kongres I di Los Angeles, Amerika Serikat. Dari video yang ditayangkan di Youtube, CID I dibuka dengan lagu Bagimu Negeri oleh anak perempuan Broery Pesolima. Kesan yang dapat ditangkap dari peristiwa ini adalah adanya kerinduan mendalam dari para diaspora Indonesia kepada tanah air, tanah leluhur, tanah tumpah darah dan bumi pertiwi, Indonesia Raya. Beberapa peserta nampak tak mampu menahan rasa dan meneteskan air mata haru.

Peristiwa yang nampak sekilas tadi jelas bukan satu kebetulan atau kepura-puraan yang sering kali kita lihat di berbagai arena formal, terutama yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pemerintahan di dalam negeri. Jika di sini nasionalisme nyaris kehilangan roh-nya, di belahan dunia lain justru sebaliknya. Hal ini sangat jelas dari pernyataan Duta Besar Afrika Selatan di Amerika Serikat yang tanpa ragu menyebut dirinya anak keturunan Bugis, Ebrahim Rasool. Dengan gaya khas elegan, dengan sangat lancar, beliau bercerita penuh rasa bangga sebagai orang yang punya kaitan batin dengan Indonesia. “We are diaspora...but Indonesia !!!”. Satu hal yang acapkali tak bermakna ketika diucapkan oleh orang-orang yang punya jabatan setara atau lebih rendah dengan beliau di dalam negeri.

Keunggulan para diaspora Indonesia bukan hanya karena potensi kepemilikan aset yang sangat luar biasa. Mereka, terutama yang masih berkewarga-negaraan Indonesia maupun yang telah menjadi WNA karena faktor perkawinan atau jadi korban politik sektarian dalam negeri, menyatakan diri ingin pulang kampung. Dari penggunaan istilah saja kita tahu betapa keterikatan emosional yang mereka pendam lama seolah ingin ditumpahkan ketika tiba di kampung halaman, tanah leluhur, tanah air dan tanah tumpah darahnya, Indonesia. Melepas rindu pasti, tapi menyambung tali silaturahmi adalah alasan dasar kemanusiaan yang lazim terhadi dan dialami kebanyakan orang yang telah lama terpisah.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kepemilikan aset meraka yang luar biasa itu bersumber dari kekuatan otak (brain power) yang dimiliki. Boleh jadi, di balik kapasitas intelektual dan profesional mereka yang luar biasa dan mampu mengungguli prestasi banyak orang yang dipuja puji di dalam negeri, khususnya orang Amerika Serikat yang banyak didaulat sebagai idola atau pahlawan, dengan cara dan keunggulan pribadi masing-masing, mereka masih memiliki perhatian dan kepedulian besar pada tanah leluhur, tanah air dan kampung halamannya yang kini tengah dilanda banyak masalah besar yang membelit. Para diaspora Indonesia yang secara mental telah lolos uji mampu berkompetisi di tingkat global itu sangat perlu kita serap ilmu dan pengalamannya untuk memperbaiki mentalitas Bangsa Indonesia saat ini yang tengah berada di simpang jalan menuju keterpurukan.

Kembali ke masalah sinisme publik yang menggejala adalah buah praktik politik yang tak berkeadabaan. Saling mengejek tanpa rasa malu dan ragu di depan publik. Seolah tiada lagi orang memperhatikan tabiat buruk itu muncul di panggung yang semestinya mencerminkan sikap negarawan atau negarawati yang senantiasa memberi teladan kebaikan dan kebajikan. Ketika mereka terjerat kasus hukum, yang mengemuka adalah tindak antara korupsi dan asusila. Dua di antara banyak kasus yang berkait erat dengan lemahnya mentalitas. Seperti kata pepatah “ buruk muka, cermin si belah” atau “lempar batu, sembunyi tangan”. Pengecut, sebutan yang paling pas untuk itu.

Sebagai perantau, mental diaspora akan diuji tidak hanya sebagai pribadi. Mereka juga membawa suasana sosial dan budaya yang mengemuka. Jika di negeri asalnya tengah dilanda kemerosotan mental, mereka harus memiliki kemampuan yang jauh lebih besar untuk memberi keyakinan kepada orang-orang di sekitarnya bahwa ia tak terpengaruh oleh suasana itu. Ketika lolos uji artinya ia membawa beban yang sama berat dan mampu diatasi. Kejadian semacam ini bisa terjadi di manapun dan kapanpun.

Keunggulan para diaspora di sisi kualitas sumber daya manusia adalah perpaduan mantap antara kemampuan otak dan mental juara. Seorang juara sejati akan selalu memelihara kapasitas pribadinya di segala arena. Dan kemampuan itu dibuktikan di luar kandang dengan hasil gemilang. Karena itu, ketika mereka ingin membuktikannya di kampung halaman, selayak-nya diapresiasi secara obyektif. Tidak selalu jadi idola atau pahlawan, tapi bukan pengecut atau pecundang yang selalu berkelit dari tanggung jawab pribadi.

Dengan banyaknya keunggulan yang telah mereka buktikan di luar kampung, tidak sepantasnya kita tidak memberi aprasiasi tinggi dan menyambut kedatangan mereka dengan suka cita. Apapun yang akan mereka lakukan pada Kongres Diaspora Indonesia II di kampung halaman Indonesia, telah banyak karya nyata yang telah mereka sumbangkan kepada bangsa, negara dan tanah air Indonesia. Meski tanpa publikasi yang memadai, potensi besar mereka jauh lebih berharga dari pada iklan para politisi yang menghabiskan banyak dana dan kurang bermanfaat di saat banyak warga bangsa ini terbelit kesulitan hidup layak bagi kemanusiaannya.

Selamat Datang di Kampung Halaman Indonesia. Semoga niat baik anda tak berkurang karena sedikitnya penghargaan di sini, di saat banyak orang tak lagi peduli kepada orang lain. Ketika banyak orang terlalu asyik dengan diri dan kepentingan sendiri. Autisme sosial yang menggejala dan menutup ruang-ruang kegotong-royongan yang telah membuat negeri Indonesia merdeka dari penjajahan asing. Selamat ber-kongres, kami menantikan karya terbaik anda semua untuk Indonesia Raya. Selamat dan sukses, amien.

Tulisan ini juga dimuat di Catatan Pribadiku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun