Retakan di Dinding, Kebisuan di Hati: Tragedi yang Sering Kita Abaikan
Antara Bangunan yang Ambruk dan Firasat yang Hilang
Oleh: Toto Endargo
"Dulu, sebelum tamu datang, prenjak sudah berceloteh di dahan jambu. Sekarang, bahkan sebelum gedung ambruk, tak ada tanda yang kita pahami."
Tragedi demi tragedi melanda dunia pesantren kita. Bangunan ambruk, atap roboh, lantai runtuh---dan yang menjadi korban bukan hanya tembok, tetapi juga anak-anak santri: jiwa-jiwa muda yang sedang meniti jalan ilmu dan iman.
Setiap kali itu terjadi, narasi yang muncul sering terdengar serupa: "Ini sudah takdir."
Padahal, tidak semua yang disebut takdir benar-benar merupakan takdir dalam arti sesungguhnya. Kadang, itu adalah buah dari kelengahan, kesembronoan, atau proses yang tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh. Sayangnya, kekeliruan ini sering terlindungi oleh kalimat-kalimat spiritual yang terdengar indah, tetapi mengaburkan akar masalah.
Keteledoran Lahir: Bangunan yang Berdiri Tanpa Jiwa
Pesantren-pesantren kini tumbuh pesat. Jumlah santri meningkat, bangunan bertambah, dan aktivitas kian ramai. Namun, semangat pembangunan tersebut sering tidak diimbangi dengan penerapan standar keselamatan dasar.
Banyak gedung didirikan tanpa perencanaan matang dan pengawasan teknis yang memadai. Prosesnya kerap hanya mengandalkan niat baik, tanpa dukungan keahlian profesional atau izin konstruksi yang sah.
Niat baik tentu penting. Namun, niat baik tidak boleh menggantikan kehati-hatian. Keimanan tidak otomatis menggugurkan kewajiban untuk memastikan bangunan aman. Jika retakan dibiarkan, dan suatu hari anak-anak tertimpa tembok, maka itu bukan semata takdir---melainkan tanda bahwa ada tanggung jawab yang terabaikan.