Keteledoran Batin: Ketika Pemimpin Tak Lagi Menyimak Semesta
Dalam tradisi pesantren yang berakar kuat pada kebudayaan Jawa, ruang batin memiliki peran penting. Bukan sekadar "perasaan", tetapi kepekaan terhadap tanda-tanda semesta: mimpi, suara burung, kegelisahan jiwa, atau firasat yang tak terjelaskan secara logika namun dirasakan dengan nurani.
Para kiai sepuh dahulu bukan hanya ahli tafsir kitab, tetapi juga peka membaca kehidupan. Mereka tidak tergesa-gesa membangun. Tanah diraba, langit dilihat, hati disiapkan. Bila ada gelagat kurang baik, mereka berhenti sejenak, merenung, bahkan menunda pembangunan.
Kini, kepekaan itu mulai pudar. Kita lebih percaya pada timeline proyek dan rencana lima tahun daripada suara halus yang kadang sudah memberi isyarat. Bukan karena firasat hilang, tapi karena batin kita terlalu bising untuk mendengarnya.
Firasat bukan mitos; ia bagian dari kearifan spiritual. Namun, ia hanya hadir pada hati yang jernih. Jika laku batin diabaikan, maka tanda-tanda itu lewat begitu saja---tanpa disapa, tanpa dimengerti.
Kita Kehilangan Akar Kita
Musibah bangunan roboh bukan hanya kegagalan teknis, tetapi juga cermin dari kegagalan kesadaran. Kita kehilangan harmoni antara ilmu lahir dan ilmu batin, antara perencanaan teknis dan kewaspadaan spiritual.
Kita terlalu percaya pada rencana manusia, dan terlalu jarang menyimak bisikan alam.
- Dinding retak adalah tanda, tetapi kita sibuk mengecatnya.
- Langit muram adalah isyarat, tetapi kita berfoto ria di bawahnya.
- Gelisah di hati adalah peringatan, tetapi kita redam dengan kopi dan tawa.
Penutup: Jangan Bungkam Suara Perubahan
Kita tidak boleh terus berlindung di balik kata "takdir" untuk menutupi tanggung jawab. Santri-santri adalah amanah, bukan sekadar angka dalam brosur donasi. Gedung megah tidak berarti mulia jika tak aman bagi penghuninya.
"Ketika gedung ambruk, kita tidak hanya kehilangan tembok. Kita kehilangan kewarasan. Karena keselamatan bukan hanya soal struktur bangunan, tapi juga struktur kesadaran." ===