Mohon tunggu...
Toto Endargo
Toto Endargo Mohon Tunggu... Peminat Budaya

Catatan dan Pembelajaran Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ilogondhang Banyumasan (4): Geguritan, Gerongan, dan Filosofi Guyonan

18 September 2025   22:37 Diperbarui: 23 September 2025   11:52 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilogondhang Banyumasan (4) - ChatGPT

Di sini terdapat kekayaan makna bahasa Banyumasan. Kata laut tidak merujuk pada samudra, melainkan bubaran dari pekerjaan, terutama di sawah. "Sari laut" kemungkinan besar berasal dari mari laut, yang artinya selesai atau rampung bekerja

Sementara kata rama tidak harus diartikan ayah kandung. Dalam kultur Banyumas, rama adalah panggilan hormat bagi laki-laki yang lebih tua. Maka, "Rama kula e rama" mencerminkan ungkapan perasaan yang bercampur antara kasihan, hormat, sekaligus sedikit kecewa---karena para lelaki sering terlihat santai, kluyur-kluyur, tanpa peduli sekitar.

Pulang ke Selatan

Lirik "padha bali nganah ngidul" mengandung filosofi mendalam. Mengapa ke selatan? Tidak selalu karena rumah ada di selatan sawah. Arah selatan dalam kultur Jawa adalah arah pulang, arah keraton, arah pendapa kabupaten yang memang menghadap selatan. Sawah sebagai pusaka leluhur dianggap istana luhur, sehingga pulang ke selatan berarti kembali ke asal, meninggalkan kerja untuk sementara.

Parikan dan Doa Terselubung

Lirik "Ilogondhang parikane" menegaskan bahwa yang mereka nyanyikan adalah parikan, bentuk tembang rakyat Banyumasan yang lugas, penuh humor, sekaligus kaya makna.

Menarik pula ungkapan "Dhuwa loloo oo-eng." Menurut penuturan Pak Gedhe sekitar tahun 1966, kalimat ini sebenarnya politik bahasa para sunan untuk menyebut nama Allah. Bentuk aslinya: "Dhuh Alloh, a-eng." Kata a-eng dalam bahasa Banyumas berarti tidak ada atau tidak tampak. Jadi, sesungguhnya itu doa lirih: "Ya Allah, Zat yang tidak tampak."

Penutup

Dari geguritan dan gerongan ini kita belajar bahwa tembang Ilogondhang bukan sekadar hiburan pedesaan. Ia adalah bahasa kritik, nasehat, dan doa yang disamarkan dalam guyonan. Perempuan menasihati laki-laki agar tidak terlalu ngaya. Kata-kata sederhana ternyata menyimpan tafsir budaya yang dalam. Dan setiap kelakar, pada akhirnya, tetap kembali pada Yang Maha Gaib.

Artikel berikutnya akan masuk ke bait yang berisi wangsalan, bentuk tembang dengan teka-teki yang lebih rumit, sekaligus menantang kecerdikan bahasa wong Banyumas. ===

Catatan Kaki

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun