Mohon tunggu...
Toto Endargo
Toto Endargo Mohon Tunggu... Peminat Budaya

Catatan dan Pembelajaran Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ilogondhang Banyumasan (4): Geguritan, Gerongan, dan Filosofi Guyonan

18 September 2025   22:37 Diperbarui: 23 September 2025   11:52 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilogondhang Banyumasan (4) - ChatGPT

Ilogondhang Banyumasan (4): Geguritan, Gerongan, dan Filosofi Guyonan

Oleh: Toto Endargo

Salah satu kekhasan tembang Ilogondhang Banyumasan terletak pada bentuknya yang bukan hanya sekadar tembang, tetapi juga dilengkapi dengan geguritan dan gerongan. Perpaduan ini membuat suasana menjadi lebih hidup, penuh canda, serta menghadirkan kebersamaan antara sindhen dan niyaga, waranggana dan wiraswara. Kompak sekaligus meriah.

Lirik Guyonan yang Menggelitik

Mari kita cermati cuplikan berikut:

  • Kadhar pira wong lanang sing rosa, rosa nggender  - (Esuk nggender, sore nggender, bubar nggender kethewer-thewer)  
  • Kadhar pira wong lanang sing rosa, rosa ngendang   - (Esuk ngendang, sore ngendang, bubar ngendang kecemplung blumbang)
  • Kadhar pira wong lanang sing rosa, rosa nge-gong  - (Esuk nge-gong, sore nge-gong, bubar nge-gong kejeglong-jeglong)  

Geguritan ini menggambarkan pola pergaulan wong Banyumas. Mereka akrab dengan guyonan, bahkan tidak segan mengolok-olok. Dalam contoh di atas, kaum laki-laki (wong lanang) seolah sedang dilecehkan atau "dikutuk" karena sikapnya yang terlalu ngaya dalam bekerja.

Ungkapan "kadhar pira" bisa diartikan: "Seberapa sih kekuatanmu?" atau "Paling juga tidak seberapa." Pesannya jelas: jika bekerja tanpa mengenal waktu---pagi hingga sore---maka akhirnya tubuh bisa terhuyung, tercebur, bahkan celaka. Kutukannya berupa kecelakaan kecil, cedera, atau hilangnya konsentrasi.

Dengan cara ini, perempuan Banyumas menasihati lewat tembang: jangan berlebihan dalam bekerja. Hidup perlu keseimbangan, sebab jika tenaga diperas habis-habisan, yang lahir bukan keberkahan, melainkan petaka.

Sari Laut dan Rama

Bagian lain dari tembang berbunyi:

  • Sari laut, rama kula e rama,  
  • Kluyur kluyur padha bali nganah ngidul  
  • Ilogondhang parikane  
  • (dhuwa loloo oo-eng)  

Di sini terdapat kekayaan makna bahasa Banyumasan. Kata laut tidak merujuk pada samudra, melainkan bubaran dari pekerjaan, terutama di sawah. "Sari laut" kemungkinan besar berasal dari mari laut, yang artinya selesai atau rampung bekerja

Sementara kata rama tidak harus diartikan ayah kandung. Dalam kultur Banyumas, rama adalah panggilan hormat bagi laki-laki yang lebih tua. Maka, "Rama kula e rama" mencerminkan ungkapan perasaan yang bercampur antara kasihan, hormat, sekaligus sedikit kecewa---karena para lelaki sering terlihat santai, kluyur-kluyur, tanpa peduli sekitar.

Pulang ke Selatan

Lirik "padha bali nganah ngidul" mengandung filosofi mendalam. Mengapa ke selatan? Tidak selalu karena rumah ada di selatan sawah. Arah selatan dalam kultur Jawa adalah arah pulang, arah keraton, arah pendapa kabupaten yang memang menghadap selatan. Sawah sebagai pusaka leluhur dianggap istana luhur, sehingga pulang ke selatan berarti kembali ke asal, meninggalkan kerja untuk sementara.

Parikan dan Doa Terselubung

Lirik "Ilogondhang parikane" menegaskan bahwa yang mereka nyanyikan adalah parikan, bentuk tembang rakyat Banyumasan yang lugas, penuh humor, sekaligus kaya makna.

Menarik pula ungkapan "Dhuwa loloo oo-eng." Menurut penuturan Pak Gedhe sekitar tahun 1966, kalimat ini sebenarnya politik bahasa para sunan untuk menyebut nama Allah. Bentuk aslinya: "Dhuh Alloh, a-eng." Kata a-eng dalam bahasa Banyumas berarti tidak ada atau tidak tampak. Jadi, sesungguhnya itu doa lirih: "Ya Allah, Zat yang tidak tampak."

Penutup

Dari geguritan dan gerongan ini kita belajar bahwa tembang Ilogondhang bukan sekadar hiburan pedesaan. Ia adalah bahasa kritik, nasehat, dan doa yang disamarkan dalam guyonan. Perempuan menasihati laki-laki agar tidak terlalu ngaya. Kata-kata sederhana ternyata menyimpan tafsir budaya yang dalam. Dan setiap kelakar, pada akhirnya, tetap kembali pada Yang Maha Gaib.

Artikel berikutnya akan masuk ke bait yang berisi wangsalan, bentuk tembang dengan teka-teki yang lebih rumit, sekaligus menantang kecerdikan bahasa wong Banyumas. ===

Catatan Kaki

Laut dalam bahasa Banyumasan berarti bubaran dari pekerjaan, bukan lautan atau samudra.

  • "Sari laut, kluyur kluyur padha bali nganah ngidul" ada yang berpendapat bahwa itu artinya: "Nyai Rara Kidul yang sedang pulang ke Laut Selatan", karena kata laut dikiranya Bahasa Indonesia.
  • Rama adalah panggilan hormat untuk laki-laki yang lebih tua, tidak selalu berarti "ayah kandung."
  • A-eng berarti tidak ada atau tidak tampak, sehingga dipakai untuk menyebut kehadiran Allah yang gaib.
  • Mari berarti sembuh atau selesai. ===

Lanjutkan membaca: Ilogondhang Banyumasan (5): Eman-eman, Sindiran dan Rasa Rumangsa

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun