Ilogondhang Banyumasan (5): Eman-eman, Sindiran dan Rasa Rumangsa
Oleh: Toto Endargo
Geguritan Banyumasan kerap menjadi cermin bagaimana masyarakatnya berinteraksi: cablaka, apa adanya, namun juga sarat sindiran halus yang justru terasa tajam. Salah satu contohnya ada dalam rangkaian tembang berikut:
- Eman, eman, eman, sing emang ketemu kapan
Dhongkel kelang, dhongkel kelang
Jeneng bung-ing alang-alang
Wis sajege wong lanang gede gorohe - Bisa gambang ora bisa nyuling, mas mas.
Bisa nyawang ora bisa nyanding.
Curahan Hati Perempuan
Kata eman-eman yang diulang-ulang bukan sekadar ungkapan kecewa. Ia adalah curahan hati seorang perempuan yang merindukan lelaki tulus---bukan sekadar datang dan pergi tanpa arah. Pertanyaan "sing emang ketemu kapan?" seolah menggantung di udara, menjadi keresahan abadi: kapan kiranya akan ada sosok pria yang bisa dipercaya, yang benar-benar sayang, bukan hanya pandai berjanji?
Di sini tampak bagaimana tembang menjadi ruang curhat perempuan. Ia tidak malu mengeluh, justru memilih lantang bersuara. Sebuah sikap yang mencerminkan keberanian wong Banyumas untuk mengekspresikan isi hati, tanpa dibuat-buat.
Wangsalan yang Menyindir
Bagian berikutnya memakai bentuk wangsalan, teka-teki berlapis makna. Dhongkel kelang menunjuk pada "rajeg" atau tonggak kayu keras yang sulit dicabut. Jeneng bung-ing alang-alang merujuk pada "boreh," pucuk alang-alang muda. Bila keduanya digabungkan, jawaban wangsalan ini membentuk sindiran tajam: wong lanang gede gorohe---sudah wataknya kaum pria besar bohongnya.
Kritik sosial ini diulang-ulang, menandakan bukan sekadar kelakar, tapi semacam kesepakatan sosial. Lelaki sering dipandang mudah mengobral kata-kata, tapi sulit membuktikan. Maka perempuan Banyumas, lewat tembang, menyampaikan pengalamannya dengan cerdas: bukan marah-marah, melainkan sindiran penuh seloroh.
Parikan Rasa Rumangsa