Mohon tunggu...
Toto Endargo
Toto Endargo Mohon Tunggu... Peminat Budaya

Catatan dan Pembelajaran Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ilogondhang Banyumasan (3): Menyelami Makna di Balik Sebuah Nama

17 September 2025   15:00 Diperbarui: 23 September 2025   11:31 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilogondhang Banyumasan (3): Menyelami Makna di Balik Sebuah Nama

Oleh: Toto Endargo

Sebelum kita masuk ke bahasan sastra dalam lirik tembang Ilogondhang Banyumasan, ada baiknya kita berhenti sejenak pada judulnya. Kata Ilogondhang bukan sekadar rangkaian bunyi yang enak didengar, melainkan menyimpan jejak sejarah bahasa sekaligus filosofi budaya wong Banyumas.

Ilogondhang sebagai Nama Pohon

"Ilo" atau "Elo" adalah nama sebuah pohon yang bisa tumbuh hingga sepuluh meter, berdaun lebar, dengan buah kecil-kecil. Pohon ini dalam penyebutan lain dikenal pula sebagai pohon Gondhang. Dengan kata lain, Ilo dan Gondhang sesungguhnya menunjuk pada hal yang hampir sama.

Pohon yang ukurannya lebih kecil disebut Keciet. Bentuk daun dan buahnya mirip pohon tin, sehingga ada pula yang menyebutnya "Pohon Tin Jawa". Maka, pohon Gondhang dapat dipandang sebagai versi lokal pohon tin di Nusantara.

Namun, lebih dari sekadar keterangan botanis, pilihan nama ini memuat pesan budaya. Masyarakat Banyumas menggabungkan dua kata yang sama artinya---Ilo dan Gondhang---menjadi satu judul gendhing. Fenomena ini mencerminkan gaya tutur wong Banyumasan yang gemar mengulang kata untuk mempertegas maksud.

Dengan begitu, Ilogondhang bisa dibaca sebagai simbol persatuan: satu budaya, satu darah, satu tanah kelahiran, dan satu pula dalam rasa. Inilah keindahan bahasa Banyumasan---pengulangan bukan dianggap mubazir, melainkan justru penguat makna.

Lapisan Makna Lain

Selain menunjuk pada pohon, kata Ilogondhang juga memiliki tafsir simbolis. "Ilo" dari kata "Ngilo" artinya bercermin. "Gondhang" dalam bahasa Banyumas memiliki makna sebagai "tekak" atau bagian dari tenggorokan tempat keluarnya suara, istilah lainnya adalah "telak". Dengan dimaknai sebagai cermin dan sumber suara maka kita dapat memberi makna yang lebih berbudaya, membicarakan perilaku orang Banyumas bukan sekedar nama pohon.

Dari sini, lahirlah makna filosofis yang lebih dalam:

  • Bercerminlah dari apa yang disuarakan, dari kata-kata yang lahir lewat lirik tembang Ilogondhang.
  • Tembang ini adalah cermin budaya wong Banyumas---guyonan, kearifan, hingga kritik sosial.
  • Apa yang keluar dari gondhang (telak, tekak, tenggorokan) wong Banyumas adalah contoh perilaku, falsafah, bahkan sikap politik. Tidak heran ada pepatah populer: "Ngomong, aja asal nganggo telake dhewek!" (Berbicara jangan hanya pakai tenggorokan sendiri---pikirkan pula akibatnya).

Dengan begitu, setiap kalimat dalam tembang Ilogondhang sejatinya menyimpan nasehat positif yang patut dipahami dan dijalani.

Ilogondhang sebagai Bahasa Tutur

Pada akhirnya, Ilogondhang adalah bahasa tutur yang diwujudkan dalam tembang. Isinya bisa berupa guyonan, kesadaran berkarya, opini, hingga nasihat hidup.

Tembang ini hadir dalam irama gembira, dinyanyikan dengan pola sahut-menyahut antara pria dan wanita, menghadirkan suasana pedesaan yang kompak, padat, sekaligus menghidupkan.

Dengan demikian, bahkan sebelum kita membaca atau mendengar liriknya, tembang Ilogondhang Banyumasan sudah mengajarkan filosofi sederhana: hidup, budaya, dan persaudaraan harus menyatu---seperti Ilo dan Gondhang yang berpadu dalam satu nama.

Penutup: Renungan Ilogondhang untuk Banyumas Kini

Ilogondhang bukan hanya tembang, bukan pula sekadar nama pohon. Ia adalah simbol tentang cara wong Banyumas memandang hidup: sederhana, terbuka, tapi penuh makna. Dari pohon yang berbuah kecil hingga makna "ngilo" dan "gondhang" sebagai cermin suara, kita diajak menyadari bahwa budaya Banyumas lahir dari keseharian---dari tutur, guyonan, hingga pitutur.

Di tengah arus zaman yang kian deras, Ilogondhang memberi pengingat: bersuara harus dengan kesadaran, bercermin harus dengan kejujuran. Wong Banyumas dikenal apa adanya, blaka suta, tapi juga njaga rasa. Dari situlah lahir keindahan bahasa dan kearifan lokal yang tak lekang oleh waktu.

Maka, setiap kali tembang ini dinyanyikan, ia seakan menegaskan identitas: Banyumas ora mung panggonan, nanging uga rasa lan jiwa. Sebuah warisan yang menuntun generasi kini untuk tetap nyawiji---bersatu, guyub, lan eling marang asal-usul.===

Lanjutkan membaca: Ilogondhang Banyumasan (4): Geguritan, Gerongan dan Filosofi Guyonan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun