Dari sini, lahirlah makna filosofis yang lebih dalam:
- Bercerminlah dari apa yang disuarakan, dari kata-kata yang lahir lewat lirik tembang Ilogondhang.
- Tembang ini adalah cermin budaya wong Banyumas---guyonan, kearifan, hingga kritik sosial.
- Apa yang keluar dari gondhang (telak, tekak, tenggorokan) wong Banyumas adalah contoh perilaku, falsafah, bahkan sikap politik. Tidak heran ada pepatah populer: "Ngomong, aja asal nganggo telake dhewek!" (Berbicara jangan hanya pakai tenggorokan sendiri---pikirkan pula akibatnya).
Dengan begitu, setiap kalimat dalam tembang Ilogondhang sejatinya menyimpan nasehat positif yang patut dipahami dan dijalani.
Ilogondhang sebagai Bahasa Tutur
Pada akhirnya, Ilogondhang adalah bahasa tutur yang diwujudkan dalam tembang. Isinya bisa berupa guyonan, kesadaran berkarya, opini, hingga nasihat hidup.
Tembang ini hadir dalam irama gembira, dinyanyikan dengan pola sahut-menyahut antara pria dan wanita, menghadirkan suasana pedesaan yang kompak, padat, sekaligus menghidupkan.
Dengan demikian, bahkan sebelum kita membaca atau mendengar liriknya, tembang Ilogondhang Banyumasan sudah mengajarkan filosofi sederhana: hidup, budaya, dan persaudaraan harus menyatu---seperti Ilo dan Gondhang yang berpadu dalam satu nama.
Penutup: Renungan Ilogondhang untuk Banyumas Kini
Ilogondhang bukan hanya tembang, bukan pula sekadar nama pohon. Ia adalah simbol tentang cara wong Banyumas memandang hidup: sederhana, terbuka, tapi penuh makna. Dari pohon yang berbuah kecil hingga makna "ngilo" dan "gondhang" sebagai cermin suara, kita diajak menyadari bahwa budaya Banyumas lahir dari keseharian---dari tutur, guyonan, hingga pitutur.
Di tengah arus zaman yang kian deras, Ilogondhang memberi pengingat: bersuara harus dengan kesadaran, bercermin harus dengan kejujuran. Wong Banyumas dikenal apa adanya, blaka suta, tapi juga njaga rasa. Dari situlah lahir keindahan bahasa dan kearifan lokal yang tak lekang oleh waktu.
Maka, setiap kali tembang ini dinyanyikan, ia seakan menegaskan identitas: Banyumas ora mung panggonan, nanging uga rasa lan jiwa. Sebuah warisan yang menuntun generasi kini untuk tetap nyawiji---bersatu, guyub, lan eling marang asal-usul.===
Lanjutkan membaca:Â Ilogondhang Banyumasan (4): Geguritan, Gerongan dan Filosofi Guyonan